#

Sudah Terbukti dan Teruji


Dua ‘saudara tua’ itu bertemu dalam satu paket Calon Presiden-Wakil Presiden Pemilu 2004. Hj. Megawati Soekarnoputri yang Ketua Umum DPP PDI Perjuangan dari kaum nasionalis-religius dan KH Hasyim Muzadi yang Ketua Umum PB-NU dari kaum religius-nasionalis. Keduanya mewakili dua arus besar aliran sosio politik, kultural, dan keagamaan Indonesia.

Berdasarkan undian pada Minggu, 23 Mei 2004, diantara lima pasangan capres-cawapres, pasangan Mega-Hasyim mendapat Nomor Urut 2 yang jika disimbolkan dengan jari tangan mengusung makna V atau victory, yang berarti kemenangan. Mega yang kini sedang menjabat presiden, memang sudah teruji dan terbukti membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan warisan Orde baru.

Kaum nasionalis dan nahdliyin sangat dikenal dan identik sebagai dua saudara tua sekandung. Keduanya sepanjang sejarah republik selalu saling bahu-membahu merebut, mempertahankan, sekaligus mengisi kemerdekaan dengan ikhtiar memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pas di sore hari yang sama mendaftar ke KPU, pimpinan teras Partai Damai Sejahtera (PDS) yang membawakan gerbong kereta kaum nasrani dan minoritas lainnya langsung menuju kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar Nomor 27-A, Menteng, Jakarta Pusat, untuk menyatakan bergabung dan mendukung duet baru Mega-Hasyim.

Spektrum dukungan luas kepada Mega-Hasyim seketika berubah menjadi mega harapan baru dari kaum nasionalis, nahdliyin dan umat Islam umumnya, nasrani, serta segenap minoritas lainnya.


Kaum nasionalis dimotori oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang pada 4 Juli 1927 didirikan dan dipimpin langsung oleh Presiden Pertama R.I Ir Soekarno. Di tingkat akar rumput lain kaum nahdliyin dimotori oleh para ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi sosial keagamaan tertua di tanah air yang pada tahun 1926 didirikan oleh KH Hasyim As’yari, kakek Guru Bangsa KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.


Duet Mega-Hasyim bukan hanya memuaskan kerinduan rakyat kebanyakan bertemunya dua saudara tua sekandung sebagai calon pimpinan nasional di bumi pertiwi Indonesia. Juga bukan hanya menjanjikan perolehan suara yang sangat signifikan dari kaum nasionalis dan nahdliyin.


Yang terutama adalah, munculnya harapan besar baru akan perbaikan nasib bangsa terutama di tingkat akar rumput para wong cilik dan nahdliyin. Harapan besar baru itu wajar sebab dalam tiga tahun terakhir kepemimpinannya sebagai Presiden RI ke-5, Megawati terbukti sukses memimpin negara membawa keluar dari krisis multidimensional berkepanjangan bahkan mampu membuat catatan emas 32 keberhasilan cemerlang di bidang ekonomi.

Berantas korupsi
Mega-Hasyim sepakat untuk mewujudkan Negara Indonesia yang berdaulat, makmur, adil, aman, demokratis, dan bersih, sebagaimana diamanatkan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mega, saat mendaftar ke KPU, antara lain menyebutkan, selama lima tahun khusunya tiga tahun terakhir dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI ke-5 dia telah bekerja keras mewujudkan visi dan misi Indonesia yang berdaulat kendati diliputi suasana krisis multidimensi yang tidak mudah dia selesaikan. Karenanya, Mega masih ingin melanjutkan visi dan misi yang telah dilakukannya itu untuk Indonesia.


Misi yang sudah dilakukan dan tetap hendak dilanjutkan oleh Megawati dalam lima tahun ke depan, untuk merealisasikan Indonesia yang berdaulat, itu pertama adalah memperkokoh NKRI sebagai kedaulatan bangsa dan negara. Kedua, mewujudkan kemakmuran dan keadilan rakyat melalui pembangunan ekonomi yang bertumpu pada kemandirian dalam era globalisasi. Ketiga, mewujudkan persamaan warga negara sebagai pondasi dari prinsip kemajemukan dalam persatuan. Keempat, mewujudkan kedaulatan rakyat melalui penguatan kelembagaan, mekanisme, dan praktik politik demokratis. Kelima, mengukuhkan martabat bangsa melalui pembangunan karakter, kepribadian, dan kemampuan bangsa.


Duet Mega-Hasyim juga sepakat tentang sebelas pokok kebijakan yang akan dilaksanakan jika terpilih menjadi pimpinan nasional. Sebelas pokok kebijakan Mega-Hasyim itu adalah, berupaya menguatkan kehidupan berdemokrasi, mempercepat reformasi aparatur pemerintahan dan sistem pelayanan publik, menciptakan keamanan ketertiban serta kepatuhan hukum, menguatkan sistem pertahanan keamanan nasional, penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya saing internasional, pemantapan kesinambungan fiskal, peningkatan kualitas kehidupan beragama, penguatan kesadaran moral dan etika, penguatan kehidupan berbudaya, dan peningkatan kualitas keolahragaan.


Hasyim Muzadi menyebutkan, tujuan visioner dirinya mau maju bersama Megawati adalah membangun Indonesia yang berdaulat dalam politik, kemandirian ekonomi, martabat kebudayaan, dan harkat kebangsaan internasional. Dikatakannya, untuk mewujudkan itu semua perlu dilakukan pengokohan politik pada wawasan lintas partai politik. Sebab tanpa kesatuan wawasan partai politik akan sulit membangun politik Indonesia ke depan.


Untuk kemandirian ekonomi, menurut Hasyim, yang harus dilakukan adalah penguatan ekonomi kelas menengah ke bawah dan pemberantasan korupsi sampai ke akar-karnya. “Kita juga harus menjadikan Indonesia negeri yang beragamakan dan agama untuk kebangsaan. Ironisnya, Indonesia yang dipimpin oleh orang beragama tetapi uang negara justru dihabiskan oleh orang-orang yang beragama,” kata Hasyim kepada wartawan.

Lebih mencintai ayahnya
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan yang kini menjabat sebagai Presiden R.I., mempunyai nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri. Dia lahir di Yogyakarta pada 23 Januari 1947 di tengah-tengah kancah revolusi mempertahankan kemerdekaan, persis tatkala Ibukota Negara R.I hijrah dipindahkan ke Yogyakarta untuk menghindari agresi militer Belanda yang masih berniat menjajah. Yogyakarta ketika itu adalah daerah steril di bawah kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX yang berpihak kepada Republik.


Megawati adalah putri sulung pasangan Ir Soekarno-Fatmawati. Ibu Fatmawati penjahit bendera pusaka merah-putih, itu adalah istri ketiga Ir Soekarno setelah istri pertama Siti Utari yang anak H.O.S. Tjokroaminoto, dan istri kedua Ibu Inggit dari Jalan Ciateul, Bandung. Menginjak hingga 17 tahun usia perkawinan Soekarno-Inggit belum dikarunia satu orang anak pun.


Ibu Fat terkenal sangat setia terhadap Soekarno. Ibu Fat selalu mengiringi proklamator suaminya itu kemanapun pergi. Dengan mempertahankan jiwa raga Ibu Fat mendampingi Soekarno berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.


Dua saudara kandung adik perempuan Megawati adalah Rachmawati Soekarnoputri dan Sukmawati Soekarnoputri. Dan dua saudara kandung lelakinya adalah Guntur Soekarnoputra dan Guruh Soekarnoputra. Menikah dengan Taufiq Kiemas, Megawati adalah seorang ibu rumahtangga yang dikaruniai tiga orang anak, yakni M Rizki Pratama, M Prananda Prabowo, dan Puan Maharani.


Masa sekolah dasar SD hingga menengah SMA dia lalui di Perguruan Cikini (Yapercik), Jakarta Pusat. Dia pernah dua kali menempuh kuliah namun keduanya tidak pernah berakhir hingga selesai, yakni di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran tahun 1965-1967, serta di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 1970-1972. Kedua masa kuliah itu adalah masa-masa kritis sakit keras ayahnya Soekarno menjelang akhir hidup yang tragis berada di bawah pengebirian rezim Orde Baru.


Megawati yang putri sulung rela mengorbankan meninggalkan bangku kuliah untuk harus mengurus ayahnya, yang nota bene adalah Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus Bapak Bangsa pendiri NKRI yang sakit keras. Megawati lebih memilih mencintai ayahnya yang korban rekayasa dan disain besar politik kotor Orde Baru, ketimbang mengikuti kuliah. Dia adalah anak gadis yang baik ketika itu sehingga tak heran bila di kemudian hari dia menjelma menjadi ibu yang baik pula, bahkan menjadi Ibu Bangsa yang sangat baik sebab berhasil menyelamatkan bangsanya dari krisis multidimensional yang lama membelenggu.

Tetap diam saat diinjak
Walau tak lama menjalani kuliah di Universitas Pajajaran Bandung 1965-1967 masa singkat itu dimanfaatkan betul gadis muda Mega untuk mengasah ketajaman visi politik dengan terlibat sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sebuah ormas mahasiswa ekstra universiter beraliran nasionalis. Sama seperti pria lain yang kelak ternyata menjadi suaminya, Taufiq Kiemas. Di GMNI pembawaan dan kepribadian Mega sangat tenang dan cenderung pendiam bahkan susah untuk bicara.


Di kemudian hari Megawati si “anak revolusi” ini besar sebagai seorang perempuan yang tetap mempunyai sifat dan kepribadian pendiam, kalem, lemah lembut, dan sangat feminim.


Sikap diam tak banyak bicara dipandang banyak orang sebagai sebuah kekuatan sekaligus kelemahannya berpolitik. Dia mengawali karir politik sebagai Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Jakarta Pusat tahun 1987-1992. Dia diam dan tetap diam tak banyak bicara walau rezim Orde Baru menghambatnya naik ke puncak Ketua Umum DPP PDI 1993-1998. Demikian pula sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan 1998-2003, Wakil Presiden RI 1999-2001, bahkan hingga menjadi Presiden RI ke-5 2001-2004 dia masih lebih banyak diam. Ketika dia dizolimi lewat penyerbuan Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 dia tetap diam tak banyak bicara. Dia teguh pada pendirian berjuang tanpa kekerasan.


Oleh para lawan politik termasuk pengamat menilai sekaligus menuding diamnya Megawati sebagai indikasi kebodohan. Keharusan mengadakan debat publik antar kandidat calon presiden sejak tahun 1999 selalu dimunculkan dengan maksud untuk menurunkan tingkat popularitas Mega.
Perlakuan zolim yang dia terima dan dijawabnya dengan sikap diam, menjadikan namanya terpatri sebagai simbol korban tekanan politik rezim Orde Baru. Pada hal berbeda dia juga simbol kongkret bentuk perlawanan politik secara damai dengan tak banyak bicara. Dia tak ingin membalas kekerasan dengan kekerasan.


Pilihan sikap diam sesungguhnya sudah sejak lama dia anut. Yakni, tatkala melewati pergumulan hidup menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya yang masih menjabat Presiden, di tahun 1952 telah menjadi korban rencana pembunuhan lewat pelemparan granat yang gagal mengenai sasaran, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, tempat Megawati sekolah.


Diamnya Mega ternyata berbuah emas. Dia tak mudah terombang-ambing. Dan semakin sulit saja ditebak arah kebijakan politiknya. Lawan politik dibuatnya kalang kabut dan selalu penasaran. Dia dianggap tidak ada apa-apanya. Padahal dia penuh kharisma. Hanya karena dia banyak diam dan dianggap tidak ada apa-apanya, oleh keluarga besar Bung Karno dan rezim Orde Baru akhirnya dia “diizinkan” terjun ke politik praktis.

Dia resmi memasuki kancah politik praktis sejak tahun 1986 saat bersedia mengisi daftar formulir calon anggota legislatif dari PDI untuk Pemilu 1987. Mega tampil menjadi sebuah ikon baru di pentas perpolitikan nasional. PDI pada Pemilu 1987 berhasil mendulang banyak suara pemilih. Dia sendiri terpilih menjadi anggota DPR periode 1987-1992.


Untuk semakin mengentalkan pelibatan diri dalam politik dia juga terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat periode 1987-1992. Semua dia lakukan praktis dengan diam, diam, dan diam saja tanpa gejolak sehingga tidak menarik perhatian para calon lawan politik termasuk rejim yang sedang berkuasa. Padahal dengan diam dia sesungguhnya secara perlahan namun pasti telah membangun sebuah kekuatan dan pengaruh politik baru yang siap diperjuangkan.


Presiden Soeharto menjadi gelisah sekali tatkala melihat kesimpulan perkembangan pesat karir politik Mega. Pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya Desember tahun 1993, yang lalu berlanjut pada Munas PDI di Jakarta tahun 1994, oleh arus bawah Megawati selalu terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Lebih dari 80 persen peserta Kongres dan Munas selalu memenangkan Mega.

Namun rezim bersikeras lain dan berusaha menjegal dan membatalkan kepemimpinan Mega. Walau demikian kepada massa pendukung di arus bawah Mega selalu mengatakan bahwa secara de facto Ketua Umum DPP PDI adalah Megawati Soekarnoputri. Secara de jure pemerintahahn rejim Orde Baru tidak pernah mengakui kepemimpinan Megawati melainkan Drs Soerjadi.


Akhirnya pada Juni 1996 Megawati resmi berhasil digusur dari kepemimpinan PDI lewat pelaksanaan Kongres PDI di Medan. Dan puncaknya adalah penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, sebab hanya kantor ituah simbol tersisa kepemimpinan sah Megawati sehigga harus tetap dikuasai oleh kader-kader PDI Pro Megawati. Para kader itu sadar betul Mega dijegal oleh Orde Baru. Karenanya mempertahankan Kantor DPP Diponegoro adalah satu-satunya simbol de facto kepemimpinan Mega yang harus dipertahankan.


Untuk menjaga dan mempertahankan soliditas sesama kader dibawah kepemimpinan Mega, sekaligus untuk membedakannya dengan kader Soerjadi, untuk sementara waktu mereka bermetamorfosa menjadi PDI Pro Mega hingga berlangsung kongres PDI di Bali, Oktober 1998. Kongres Bali 1998 yang sudah dalam suasana tumbangnya rezim Orde Baru, sepakat mengubah nama partai menjadi PDI Perjuangan. Kongres juga mengamanatkan tugas menghantarkan ketua umum yakni Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Republik Indonesia lewat Pemilu 1999. Sebuah amanat sama yang juga muncul pada Kongres PDI Perjuangan di Semarang, tahun 2000.


Pemilu 1999 berhasil membuktikan kepopuleran Megawati lewat perolehan suara 35 persen, terbesar mengalahkan Golkar yang hanya meraih 20 persen suara. Karena pemilihan presiden tahun 1999 masih dilakukan oleh anggota MPR dan sarat dengan perilaku elit politik dagang sapi, Mega yang terbukti memperoleh legitimasi kuat dari rakyat hanya bisa menduduki kursi tertinggi kedua setelah Abdurrahman Wahid saudara tuanya yang terpilih menjadi presiden.

Amanat menempatkan Megawati sebagai presiden baru terealisasi pada 23 Juli 2001 ketika Abdurrahman Wahid harus diturunkan sebagai presiden oleh MPR dengan motor Poros Tengah bentukan Amien Rais dan kawan-kawan. Alasan politis resminya, Gus Dur berani menempuh kebijakan politik membubarkan lembaga negara tertinggi MPR dan DPR sesuatu yang di luar kewenangan seorang kepala negara.

Mega siap debat
Belajar dari perilaku elit politik lima tahun terakhir Megawati mempersiapkan diri sematang-matangnya menjadi presiden baru Indonesia periode 2004-2009. Termasuk mengasah dan mengujicoba keberaniannya berdebat mengadakan tanya jawab langsung dengan para wartawan, di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat mendaftarkan diri bersama Hasyim Muzadi sebagai pasangan calon presiden-wakil presiden, pada Rabu, 12 Mei 2004. Setiap kesempatan bertemu muka langsung dengan rakyat dia berpidato tanpa teks. Seperti, ketika mengadakan panen raya tebu bersama para petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) pimpinan Arum Sabil, di Lumajang, Jawa Timur, pertengahan Mei 2004.


Sebagai presiden yang sedang berkuasa Megawati tidak serta merta memanfaatkan posisinya untuk menaikkan popularitas dengan sering muncul di tengah-tengah masyarakat. Dia sangat selektif sekali. Diminta untuk turun langsung menghancurkan gula impor ilegal, di Tanjung Priuk, Jakarta, misalnya, sebagai perlambang keseriusan pemerintah membantu memperbaiki kehidupan para petani tebu dengan cara pengaturan tata niaga gula, misalnya dengan memperketat impor gula, Mega menolak hadir.

Sikap yang berbeda dengan rezim terdahulu, yang sengaja mengakumulasikan peresmian proyek-proyek pembangunan di hari-hari sangat menentukan menjelang Pemilihan Umum untuk menarik simpati rakyat sesaat. Megawati, juga berbeda dengan kandidat presiden lain yang serta-merta tanpa pernah terjadi sebelumnya selalu mengiklankan diri hingga terkesan over-expose bahkan menjadi tanpa makna.

Ketika berdebat dengan wartawan di Kantor KPU, misalnya, Megawati menekankan agar Pemilu 2004 jangan diposisikan pada kondisi menang-kalah. Melainkan, apa yang bisa diberikan kepada nation atau bangsa. Karenanya, Mega tidak mau menjawab pertanyaan wartawan yang memposisikan kondisi kalau begini dan kalau begitu. “Anda ini senangnya berkalau-kalau saja. Ada pertanyaan lain?”, kata Mega singkat sambil mempersilakan penanya berikut.

Sebuah sikap baru membuka wacana perdebatan. Menjawab pertanyaan wartawan lain tentang bagaimana upaya Mega menjaga kekompakan Kabinet Gotong Royong pimpinannya, yang banyak ditinggalkan para pembantu sebab sibuk berebut kekuasaan di ajang Pemilu Presiden 2004, Mega dengan berani dan tangkas melempar wacana baru dengan menyebut bahwa banyak pembantunya yang ternyata bajing loncat saja.
Megawati adalah pemimpin rakyat yang besar karena selalu bersikap diam saat dizolimi.

Sikap keibuan yang melahirkan banyak simpati dan empati. Bahkan banyak rakyat kecil hingga pembesar serta para selebritis yang rela memberikan sacrifice, atau sebuah pengorbanan terbesar dari diri mereka untuk menunjukkan sikap keberpihakan kepada Mega. Misalnya, seorang anak bangsa Erwin Pardede yang mau menyediakan “tumpangan” rumah menjadi kantor PDI Pro Mega pada saat Megawati dan kader-kadernya dikejar-kejar diburu digusur seolah-olah tak berhak hidup di bumi republik yang nyata-nyata adalah ayahnya yang dahulu mendirikan.

Rakyat banyak yang lain mau menyerahkan sejengkal tanahnya untuk dipakai menjadi Posko PDI Perjuangan. Bahkan, menyedekahkan sedikit uang untuk mencetak kaos berlogo Megawati berikut banteng gemuk bermulut putih dalam lingkaran. Banyak prakarsa, swadaya, dan sikap gotong royong yang sebelumnya merupakan jatidiri dan karakter bangsa, ditujukan kepada Mega kembali tercuat ke permukaan setelah sebelumnya selama 32 tahun dikebiri oleh rezim Orde Baru yang hedonis, egois, dan materialis. Secara singkat langkah sacrifice itu bisa diartikan menolong Megawati yang lemah menjadi kuat dan untuk serta merta menumbangkan rezim lama yang otoriter.

Pemerintahan Mega terbukti sukses
Posisi pemenang Pemilu 2004 menempatkan PDI Perjuangan dan kader-kadernya menjadi berbeda jauh dari sebelumnya. Pada sebagian kecil kader mulai muncul sikap arogan. Lupa kacang akan kulitnya. Belum lagi kemungkinan kebijakan pimpinan teras partai salah. Atau tidak sesuai aspirasi kader di bawah. Tak sedikit pula kader yang tak patuh pada kebijakan pusat partai. Banyak kader yang masuk PDI Perjuangan ternyata berorientasi ekonomi semata. Sehingga, ketika motif itu tak diperoleh selam menjadi anggota partai sikap patriotik terhadap Mega menjadi luntur seketika. Karenanya tak jarang terjadi PDI Perjuangan mayoritas di parlemen namun selalu kalah dalam pemilihan kepala daerah.


Mempertahankan kemenangan menjadi jauh lebih sulit daripada merebutnya. Rakyat kebanyakan mulai menarik dukungannya kepada partai. Pengadilan rakyat sekaligus hukuman kepada PDI Perjuangan langsung terasa pada Pemilu 5 April 2004. Suara PDI Perjuangan hanya 20 persen, atau drastis hilang 15 persen.


Jika partai mengalami pasang surut tidak demikian halnya dengan posisi politik Megawati. Dia tetaplah Megawati yang dahulu lebih banyak diam ketika dizolimi. Sebagai misal, ketika seorang anggota kabinetnya sering muncul di televisi sebelum berlangsung Pemilu 5 April, menteri itu membawakan iklan layanan masyarakat Pemilihan Umum mengatasnamakan kantor kementerian koordinator yang dipercayakan kepadanya, yang menyiratkan mencuri start kampanye. Sebab, menteri itu adalah pendiri sebuah partai politik bahkan akan dicalonkan sebagai calon presiden yang akan ikut Pemilu Presiden 2004. Kepadanya dan tentangnya Mega diam saja.


Beberapa menteri lain yang pernah diangkatnya sebagai pembantu ternyata tidak mampu menunjukkan pengabdian kepada bangsa dan negara hingga akhir tugas. Sebab, sebelum berakhir masa tugas Oktober 2004 menteri-menteri itu lebih tertarik mengejar kekuasaan menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Walau kekompakan kabinet tergerogoti oleh ulah mereka, dengan berani Mega menyebut di kabinetnya ternyata terdapat banyak bajing loncat.

Pernyataan itu adalah sebuah keberanian baru dari Mega membuka wacana perdebatan, dengan memunculkan cap dan isu bajing loncat kepada para menteri yang dengan mudah meninggalkan kekompakan Kabinet Gotong Royong. Sebab, kabinet itu awalnya disepakati dan dibangun bersama-sama oleh lintas fraksi. Megawati hampir di ujung tugas harus berjuang keras menopang keutuhan kabinet hingga pemerintahan baru terbentuk Oktober 2004.


Berhasil memperbaiki stabilitas ekonomi makro namun dituding bukan keberhasilan pemerintahannya, Mega pun diam saja. Indikator ekonomi makro jelas-jelas menunjukkan berbagai keberhasilan baru yang belum pernah dicapai sebelumnya. Mega berhasil mencatatkan tinta emas 32 indikator keberhasilan ekonomi yang gemilang. Misalnya, tingkat suku bunga perbankan yang turun hingga angka terendah, tingkat cadangan devisa negara yang tertinggi dalam sejarah, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, dan berbagai indikator keberhasilan lainnya. Terhadap semua tudingan termasuk penjualan aset-aset negara, kritik dan penzoliman itu tidak Mega tanggapi dengan reaktif. Melainkan, Mega balas mengkritik balik pengkritiknya secara konstruktif.

Ulama religius yang nasionalis
Akan halnya KH Hasyim Muzadi yang kelahiran Tuban, Jawa Timur 8 Agustus 1944, berharap dapat berperan besar memajukan kesejahteraan lewat pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya. Kehadiran kyai pimpinan Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang, ini serta merta menjadi simbol baru upaya pemberantasan korupsi dalam gerbong kepresidenan Mega.


Hasyim menyebutkan duetnya dengan Mega adalah awal dikikisnya dikotomi Islam abangan dan Islam santri, sesuatu yang selama berabad-abad selalu mengemuka. Sebab dasarnya adalah, sebagian besar warga PDI Perjuangan adalah orang Islam yang tinggal di desa-desa. Demikian pula orang-orang NU tinggal di desa-desa. Karenanya, pekik dalam duet Mega-Hasyim adalah pekik Merdeka dan Allahuakbar. Hasyim juga berharap duetnya dengan Mega bukan hanya dimaksudkan untuk mampu membentuk skala pemerintahan. Namun, juga mampu membentuk dimensi kultural untuk menjamin kekokohan persatuan rakyat.


KH Hasyim Muzadi memiliki nama lengkap Abdul Hasyim Muzadi. Ayahnya bernama H. Muzadi, sedangkan ibunya Hj. Rumyati. Memperistri Hj. Muthomimah, Hasyim dikaruniai enam putra-putri.


Riwayat pendidikan Hasyim Muzadi menunjukkan, dia menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Tuban, Jawa Timur 1950-1953, Sekolah Dasar Tuban 1954-1955, SMP Negeri I Tuban 1955-1956, KMI Gontor, Ponorogo 1956-1962, Pondok Pesantren Senori, Tuban 1963, Pondok Pesantren Lasem, Jawa Tengah 1963, dan IAIN Malang, Jawa Timur 1964-1969, dan pendidikan bahasa tahun 1972-1982. Hasyim adalah aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Ansor, dan NU.


Sebelum menjadi Ketua Umum PB NU 1999-2004, Hasyim Muzadi mengawali karirnya sebagai Ketua Ranting NU Bululawangan, Malang, Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang 1965, Ketua Cabang PMII Malang 1966, Ketua KAMI Malang 1966, Ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971, Wakil Ketua PCNU Malang 1971-1973, Ketua DPC PPP Malang 1973-1977, Ketua PCNU Malang 1973-1977, Ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987, Ketua PP GP Ansor 1985-1987, Sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992, dan terakhir Ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999. Hasyim Muzadi pernah tercatat sebagai Anggota DPRD Tingkat II Malang, Jawa Timur, serta Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987.


Tinggal di Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Malang, Jawa Timur, tiga buah buku pernah dia hasilkan sebagai buah pemikiran Hasyim Muzadi. Yakni, “Membangun NU Pasca Gus Dur”, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta, tahun 1999. Lalu, “NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa,” penerbit Logo, Jakarta, 1999, serta buku “Menyembuhkan Luka NU”, penerbit Logos, Jakarta, tahun 2002.


Hasyim Muzadi adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB-NU) yang laris dilirik sebagai calon wakil presiden. Misalnya, oleh Akbar Tandjung yang Ketua Umum DPP Partai Golkar, dan Wiranto yang terpilih sebagai kandidat presiden Partai Golkar melalui konvensi. Hayim harus meminta maaf kepada keduanya sebab tak bisa memenuhi keinginan keduanya. “Alasannya bukan apa-apa, saya tak bisa menerima tawaran dua sekaligus,” kata Hasyim. Sama seperti ungkapan, seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan, sebab jika hamba itu mengasihi tuan yang satu maka dia akan membenci yang lain.


Selain oleh Akbar Tandjung dan Wiranto, Partai Amanat Nasional (PAN) juga sempat melirik Hasyim Muzadi. Bahkan, di internal PBNU dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nama Hasyim sempat sangat dijagokan sebagai calon presiden maupun sebagai calon wapres mendampingi Gus Dur dari PKB. Namun semuanya terganjal oleh figur Gus Dur yang tetap mempunyai keinginan maju mencalonkan diri. Tidak mengherankan tampak kasat mata bagaimana Gus Dur kurang menyukai pencalonan Hasyim Muzadi, yang mencuatkan kepermukaan kekurangharmonisan hubungan mereka.


Sejumlah Badan Otonom Nahdlatul Ulama, yang terdiri dari GP Ansor, Muslimat, Fatayat, Ikatan Pelajar NU (IPNU), dan Ikatan Putra-Putri NU (IPPNU), sesungguhnya sudah pernah meminta agar PKB mencalonkan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi sebagai pendamping KH Abdurrahman Wahid.
Dalam sebuah rapat pleno PBNU, di Jakarta, Sekjen IPNU Syamsudin Pay membacakan hasil kesepakatan lima badan otonom NU itu. Selain itu, Ketua PBNU Andi Jamaro Dulung juga membacakan surat 22 Pengurus Wilayah (PW) NU dengan permintaan serupa. Rapat itu dihadiri, antara lain oleh Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudz, Wakil Rais Aam KH Fachrudin Masturo, Katib Aam Masdar Farid Mas’udi, dan beberapa anggota Syuriah PBNU seperti KH Dimyati Rais yang menjadi Ketua Dewan Syura Partai Kejayaan Demokrasi (Pekade) pimpinan Matori Abdul Djalil.


Organisasi-organisasi yang berada di bawah naungan NU juga meminta agar NU, yang mempunyai basis massa 45 juta orang pemilih, berkomunikasi dengan kekuatan strategis bangsa lain termasuk TNI dan partai politik, untuk bekerja sama menjaga keutuhan bangsa dan negara.


Hasyim Muzadi sejak semula berpendirian bahwa NU sebagai ormas Islam terbesar dengan jumlah anggota mencapai 45 juta orang, tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan. Ia juga ingin menjaga agar Umat Islam, terutama kaum nahdliyin, tidak terkotak-kotak dalam politik aliran. Namun, bila ada warga NU yang ingin aktif di politik, sama sekali tidak ada halangan. Tetapi, tidak membawa bendera NU secara kelembagaan dalam kiprah politiknya. Paling tidak, hal itu berlaku untuk masa sekarang. Hasyim selalu menekankan pencalonannya dengan Mega tidak dikaitkan dengan posisinya sebagai Ketua Umum PB-NU.


Namun menurut Hasyim, siapapun kader NU yang tampil menjadi pemimpin bangsa sepanjang membawa visi nasional Indonesia secara utuh, akan disambut baik. NU akan merespons siapapun ketika yang dibicarakan itu masalah nasional dan utuh. Ketika mereka melakukan (atau) tampil sebagai partisan politik, itu sepenuhnya terserah anggota mau pilih atau tidak.


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi dalam menjalankan organisasinya memiliki prinsip bahwa NU tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik (parpol) pada Pemilu 2004. Menurut dia, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup menyulitkan posisi NU.


Pengalaman pahit selama 21 tahun menjadi partai politik periode 1952 sampai 1973, kata Muzadi, menjadi pertimbangan signifikan dari Pengurus Besar untuk mengubah bentuk organisasi itu. Waktu itu, kata Muzadi yang sempat menjadi Ketua NU Cabang Malang, kerja orang-orang NU hanya memikirkan kursi legislatif. Sementara kerja NU lainnya seperti usaha memajukan pendidikan dan intelektual umat terabaikan.


Menjelang Pemilu 2004 NU selalu didorong oleh berbagai kelompok untuk menjadi partai politik. Desakan menjadi parpol juga datang dari kelompok dalam NU (kalangan nahdliyin). Tetapi sikap NU tidak goyah. Politik merupakan salah satu kiprah dari sekian banyak sayap NU. Di mata Muzadi, partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan. Sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Di sisi lain NU dituntut memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik.


Mengenai pemimpin bangsa, menurut Muzadi, NU tidak berpikir bagaimana mengajukan calon dari NU. Tapi, yang dipikirkan, adakah calon dari mana pun yang mampu melakukan recovery, penyembuhan terhadap Indonesia. Hal itu menurutnya harus lebih dulu dipikirkan intern NU.


Menanggapi duet Mega-Hasyim berikut peluangnya, pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur KH Yusuf Hasyim pernah mengatakan, cocok tidaknya Mega-Hasyim tidak tergantung penilaian para nahdliyin melainkan tergantung pada pasangan itu sendiri. Yusuf Hasyim menegaskan pula, NU ingin menghilangkan kesan feodal yakni meminta-memberi restu, dukungan, izin, dan sebagainya. Sebab itu urusan pribadi. “Kalau bagus, tanpa didukung pun akan bagus berhasil,” ujar Yusuf. Karenanya, Yusuf Hasyim berpesan agar umat Islam jangan keliru memilih presiden. Umat jangan memilih presiden hanya berdasarkan figur tetapi juga melihat aktor intelektual di belakang pencalonan.

Pemimpin Sang pluralis
Hasyim dikenal sebagai sosok kiai yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim cukup nasionalis dan pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas melakukan. Itu sebabnya, dalam sebuah kesempatan kunjungan ke Amerika Serikat, Hasyim benar-benar seperti mengabdikan diri bagi kepentingan lebih besar.

Salah satunya ia tunjukkan dalam bentuk memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional.
Ketika terjadi peristiwa ditabraknya gedung WTC di New Yorlk pada 11 September 2001, di mana AS langsung menuduh gerakan Al Qaeda sebagai pelaku dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaring Al Qaeda, posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan berarti persoalan selesai.


Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan dunia luar secara intensif. Tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indonesia dengan internasional dan AS, itu makin positif. Apalagi, di tengah keterpurukan ekonomi, sosial, dan keamanan di Indonesia saat ini kerja sama internasional jauh lebih berfaedah daripada keterasingan internasional.


Hasyim Muzadi pun menjadi tokoh yang mendapat tempat untuk diundang pemerintah AS memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran itu langsung dari pemimpin ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga bersyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar.


“Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,” ujar Hasyim.


Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia -betapapun jumlah dan kekuatannya cuma segelintir- Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Jangan sekali-kali menggunakan represi. Bukan hanya kontraproduktif, tapi bisa memunculkan radikalisme betulan. Sekali AS bertindak, seperti dilakukannya di Afghanistan atau negara-negara Timur Tengah lain, dengan intervensi langsung, hasilnya bisa runyam. Indonesia tidak bisa dipukul rata dengan Timur Tengah atau negara-negara lain.


Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.


Di sisi lain, AS sadar perlunya menggalang pengertian dan kerja sama dengan Islam moderat di dunia. Di AS sendiri, ada sekitar 5 juta penganut Islam dan kini menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya dibandingkan agama-agama lain.


Muzadi juga mengakui, pejabat AS memang memiliki pandangan sendiri tentang masa depan, dunia Islam, dan terorisme. Namun banyak senator AS yang berharap Indonesia menjadi komunitas muslim yang pada masa depan bisa bersahabat dengan dunia. “Itu istilahnya mereka,” kata Hasyim. Sedangkan ukuran AS adalah Indonesia bisa mengatur diri sehingga tak menjadi sarang “kekerasan”. Namun, menurut Muzadi, yang cukup menggembirakan adalah tidak ada rencana AS sedikit pun untuk menyerang Indonesia.


Duet Mega-Hasyim menyiratkan sebuah mega harapan baru sebagai ekspektasi yang tak terlalu berlebih-an.

sumber : http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi

0 comments:


Blogspot Templates by Isnaini Dot Com and Hot Car Pictures. Powered by Blogger