“ya tuhan, kembali aku mendamaikan hatiku untukMu” berkabunglah hatinya ketika istrinya telah kembali ke tanganNya. Dengan menatapi tuhannya ia terus berdoa agar istrinya dapatkan tempat yang layak di sisiNya,walaupun dalam hati kecilnya ia merasa marah dengan hal ini. Bryan adalah seorang purnawirawan angkatan darat tahun 1988. Istrinya wafat di usia yang ke-60. Kini Ia menjalani hidupnya dengan gejolak jiwa, serasa tidak adil untuknya menjalani semua ini. Mempunyai satu anak laki-laki yang telah sukses, ia tidaklah bangga. Anaknya tak pernah membalas balas budinya. Michael Sulad adalah anak satu-satunya yang menjadi pegawai bank di kotanya. Sulad adalah seorang yang kaya, meski bukan seberapa jika dibandingkan kekayaan yang dimiliki Bryan ayahnya.
Mengunjungi rumah ayahnya untuk kesekian kali kala ibunya wafat. Bersama istri dan anak-anaknya Sulad menentramkan hati Bryan. Namun dunia sudah tak zamannya lagi untuk seorang bapak tua yang tak kenal akibat dari teknologi modern. Anaknya menginginkan dirinya untuk tinggal di panti jompo, atau setidaknya ada yang akan mengurus dia. Betapa marahnya Bryan akan pembicaraan itu lalu ia mengusir keras Sulad untuk tidak kesini menengoknya lagi, karena dia masih kuat dan bisa mengurus dirinya sendiri “susah payah aku menjadikanmu seseorang yang berhasil dan ini yang akan kau lakukan. Ayah masih bisa membuat hidup yang lebih berarti meski tanpa keutuhan sebuah keluarga” terasa menggemparkan pintu bagi suara seorang bapak tua hingga terdengar oleh kumpulan keluarga tetangga sampingnya. Langkah kakinya tak terdengar ketika keluar menuju kursi teras rumahnya untuk melihat anaknya yang telah berkunjung ke rumahnya. Kemudian dia duduk perlahan dan meminum secangkir kopi yang sudah dia buat sebelum Sulad berkunjung. Menolehlah kesamping dan melihat tetangganya yang sedang berkumpul sebagai keluarga yang utuh “dasar Jawa, liat apa mereka” dengan sedikit bunyi yang ia keluarkan sambil meneguk kopi itu lagi. “wong opo iku, mboten ngertos tatakrama, embuh batak!!” dengan nada keras bergetar telinga bapak tua itu mendenggar bahasa jawa nenek tua yang tidak dimengertinya. “mbok tua!” sedikit bentak anak laki-laki itu dari sepenglihatnya. Lanjut anak itu “ aja mengkoten nopo”. Bapak tua itu seperti benar-benar memperhatikan percakapan keluarga jawa itu. Memang Bryan dan tetangga disampingnya tidak pernah ada silatuhrahmi. Mereka tinggal di permukiman rumah-rumah yang berbeda dengan kebudayaan mereka. Bryan adalah orang batak yang beragama nasrani, tetangganya orang jawa yang beragama islam, dan sekitar komplek mereka adalah umat khatolik yang kehidupannya di penuhi perbuatan yang menyimpang dengan kebudayaannya.
Rudi adalah nama anak laki-laki itu. Ia tahu keadaan yang telah dialami Bryan. Ketika bryan akan mengakhiri minum kopi, Rudi melangkah mendekatinya “pagi, kami tadi terkaget dengan suara keras Bapak” dengan menarik pipinya ke atas lanjut ia “malam ini ada syukuran keluarga, kami mengundang Bapak untuk hadir”. Bryan tak pernah datang jika di undang oleh keluarga jawa, dan untuk kesekian kalinya ia pun menolak undangan anak itu. Terlihat ia menarik ke atas dahinya, dan secara bersamaan matanya melihat ke bawah tertuju pada kaki anak itu “jangan injak halaman saya. Kamu lihat batasnya kan, jangan melewati batasnya” Bryan mengangkat tubuhnya dan melangkah menuju pintu masuk rumahnya dengan muka memutar 145o, ia melontarkan kembali kata-kata itu “jangan injak halaman saya” sambil jari telunjuknya mengarah ke anak itu. Rudi yang tengah mendengarkan kata-kata itu selalu tersenyum, walau di hatinya ia menyayangkan perkataan Bryan.
Suatu pagi rumah keluarga jawa kosong. Waktu itu Rudi dan keluarganya sedang menjalankan sholat idul adha. Tiba-tiba segerombolan geng remaja brutal dari komplek samping merusak rumah keluarga jawa. Dengan kejadian itu, Bryan yang masih tidur terbangun akibat suara pecahan keras itu. Di waktu yang bersamaan Rudi terlihat di jalan menuju rumah bersama keluarganya. Meliihat ada segerombolan geng brutal tampak dari kejauhan Rudi berlari kencang menuju rumah. Kopeahnya terjatuh karena angin yang kencang berlawanan dengan arahnya, dengan sengaja sandalnya di tinggalkan di jalan dan matanya terus tertuju kerumahnya. Setelah sudah dekat dengan rumahnya Rudi melontarkan kata-kata kepada segerombolan geng brutal itu. Ia melambankan larinya dan berjalan pelan. Jantungnya berdetak kencang, tarikan nafasnya tidak teratur lagi, sekejap Rudi melihat ke arah Bryan yang terlihat baru keluar dari pintu rumah Bryan. “ heh! Kalian merusak rumahku” mata Rudi melotot ke salah seorang dari geng brutal itu “dasar banci, kau menyerang rumahku di saat tidak ada orang”. Namun perkataan Rudi membuat jiwa segerombolan geng brutal itu semakin marah. Salah seorang dari mereka menghampiri Rudi “haha… inilah akibatnya kalau kau keluar dari geng kami” sambil terdengar “paaak” dan itu adalah suara tamparan orang itu ke muka Rudi. Keluarga Rudi pun tiba di tengah kejadian itu. Mereka terkejut melihat rumahnya hancur berantakan dengan pecahan kaca yang berserakan. Kemudian ayah Rudi menghampiri gerombolan tersebut “ya allah! Apa yang kalian lakukan. Ini sudah keterlaluan, ini sebuah tindak kejahatan” salah seorang dari geng brutal itu membalas ucap “oke, sekarang sudah ada
BERSAMBUNG......
SEYAKINNYA AKU YAKIN KEYAKINANKU
Labels: cerpen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
KEREN
Post a Comment