#

2012 trailer

support by www.get2pc.com
download trailer

Dan Sheila on 7

Pemuja Rahasia Sheila On 7

17 Again

G.I JOE - ROTC

Outlander

Paul Blart Mall Cop

Fire Up (2009)

support by indowebster.com
download

Hannah Montana The Movie

support by indowebster.com
download

Megawati Sukarnoputri

Megawati Sukarnoputri (1947- ), president of Indonesia (2001- ) and leader of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), who as vice president (1999-2001) replaced deposed president Abdurrahman Wahid.

Born in Yogyakarta, Megawati is the second child and eldest daughter of Indonesia’s founding president, Sukarno. He led Indonesia’s independence from Dutch colonial rule after World War II (1939-1945) and served as the country’s first president for two decades. Her full given name is Dyah Permata Megawati Setiawati Sukarnoputri, but she commonly uses only one name, Megawati, following Indonesian custom. The name Megawati roughly translates as “woman of the clouds,” and Sukarnoputri means “daughter of Sukarno.”

Megawati and her three younger siblings grew up in the presidential palace in the care of their father; their mother, Fatmawati, separated from Sukarno in 1954. After graduating high school Megawati began her university studies at the Bandung Institute of Technology. Before earning a degree, however, Megawati discontinued her studies during the political upheaval that resulted in her father’s replacement by General Suharto in 1968. Megawati then married Surindro Supjarso, an air force lieutenant, and went to live with him in Madiun. Sukarno died in June 1970. Then in January 1971 Surindro died in a plane crash.

Although the Suharto regime stifled political dissent, it permitted two opposition parties to operate on a limited basis in addition to the government party, Golkar. One of these, the Democratic Party of Indonesia (PDI), was the result of a government-forced merger of the pro-Sukarno Indonesian National Party (PNI) and several other parties in 1973. (That year, Megawati married Taufiq Kiemas, who had been an activist in the PNI’s university student front.) For the 1987 elections the PDI sought the participation of the Sukarno family in the hope of gaining more popular support, as many Indonesians, disaffected by the Suharto regime, revered Sukarno as the country’s founder. Megawati agreed to join the party, which increased its share of the national vote in both the 1987 and 1992 elections.

These electoral gains posed a potential threat to the Suharto regime, which then attempted to install a government-preferred candidate as PDI leader. However, some party members persuaded Megawati to make a leadership bid, in the hope that her popular support would help overcome these attempts to control the party. In December 1993 Megawati was elected chairperson of the PDI.

In June 1996 a government-orchestrated coup within the PDI resulted in a faction of the party voting to remove Megawati as party leader. By then Megawati had become a potential rival to Suharto, who wanted to secure his reelection in the 1998 elections. Megawati refused to step down, and many of her supporters held street protests in Jakarta. In July 1996 five PDI members loyal to Megawati were killed when police attacked the party headquarters, leading to more demonstrations in support of Megawati. These protests marked the beginning of a pro-democracy movement that led to Suharto’s resignation in May 1998. Although Megawati did not take an active role in the movement, she was a symbol of popular resistance to the Suharto regime.

In the June 1999 parliamentary elections—the country’s first free elections—Megawati’s new party, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), won the largest share of the vote. However, Megawati did not garner enough support within the People’s Consultative Assembly (MPR), Indonesia’s supreme legislative body, to secure the presidency. The MPR instead chose Muslim cleric Abdurrahman Wahid and then appeased Megawati’s supporters by making her vice president.

A political crisis fueled by Wahid’s uncompromising style and increasingly erratic behavior resulted in his removal from office by the MPR in July 2001. Megawati was chosen to replace him and serve the remainder of his five-year term. As president Megawati faced many challenges, notably separatist movements in the provinces of Aceh and Papua (formerly Irian Jaya); a battered economy with huge government debt; and an incomplete transition to democracy after decades of authoritarian rule. Megawati’s administration immediately secured the resumption of International Monetary Fund (IMF) loans, which had been suspended under Wahid.

sumber : www.famousmuslims.com

Bertekad Wujudkan Kedaulatan NKRI


Si Mbak Pendiam ini tampil lugas, berbicara cukup panjang dan bermakna. Tidak seperti biasanya, kali ini ia cukup lama berorasi dan cukup lugas menanggapi pertanyaan dari para wartawan. Seusai mendaftar pencalonannya sebagai Capres dari PDI-P berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, sebagai Cawapres, di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu 12 Mei 2004, Megawati memaparkan visinya mewujudkan kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Dalam orasi singkat sebelum sesi tanya jawab dengan wartawan, dijelaskan bahwa dwitunggal Mega-Hasyim akan melanjutkan visi, misi, serta program yang selama ini dijalankannya sebagai presiden. Visinya adalah mewujudkan Indonesia yang berdaulat dalam lingkup NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Duet ini bertekad kuat untuk memperkukuh NKRI sebagai manifestasi dari prinsip kedaulatan bangsa dan negara.

Salah satu implementasinya adalah membuat peta baru NKRI. Sebab menurut Mega, selama ini kita tidak pernah tahu secara persis berapa luas wilayah negara kita sebenarnya. Selama ini, selalu disebut-sebut kita mempunyai 17 ribu pulau. Menurut Mega, itu kesalahan besar! Sebab, hasil pemetaan terbaru menunjukkan bahwa pulau kita berjumlah 18.860 buah. Itu pun masih terus diteliti.

“Kalau tidak ada peta yang jelas, orang bisa seenaknya mencaplok pulau-pulau yang belum bernama. Bagaimana negara kita bisa berdaulat?" kata Putri Bung Karno ini.

Pokok-Pokok Kebijakan
Mereka akan menjalankan visi dan misi itu dalam bingkai persamaan warga negara sebagai pondasi dari prinsip kemajemukan dalam persatuan dengan pokok-pokok kebijakan, antara lain: mewujudkan kedaulatan rakyat melalui penguatan kelembagaan, mekanisme dan praktik politik demokrasi, (menguatkan kehidupan demokrasi di Indonesia); mempercepat reformasi aparatur pemerintahan, sistem pelayanan publik; penciptaan keamanan, ketertiban, dan kepatuhan hukum; penciptaan lapangan kerja; peningkatan daya saing internasional; pemantapan kesinambungan fiskal, peningkatan kualitas kehidupan beragama; penguatan kesadaran moral dan etika, penguatan kehidupan berbudaya; serta peningkatan kualitas bidang olahraga.

Perihal penguatan kehidupan demokrasi, Megawati mengatakan demokrasi selama ini sudah berjalan baik, tetapi ke depan harus lebih baik lagi. Yang paling merasakan kehidupan demokrasi itu adalah pers. Kalau dulu pers diberangus sekarang pers menghujat presiden pun tidak apa-apa.

Dalam penciptaan keamanan serta penguatan sistem pertahanan nasional, Mega-Hasyim bertekad akan meningkatkan jumlah peralatan TNI dan Polri yang saat ini sangat dirasakan sangat kurang serta meningkatkan kesejahteraan hidup prajurit TNI dan Polri.

Dalam bidang hubungan internasional akan ditingkatkan daya saing internasional. Untuk itu akan dijalankan politik bebas aktif.

Memacu peningkatan kualitas dan prestasi olahraga juga menjadi program duet ini. "Betapa memprihatinkan tim Uber dan Thomas Cup kita. Meski di kampung sendiri tetap saja terpuruk," tegas Megawati.

Mereka juga bertekad untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi yang bertumpu pada kemandirian dalam era globalisasi. Cawapres Hasyim Muzadi mengatakan, kemandirian ekonomi Indonesia sekarang masih jauh panggang dari api. Oleh karena itu perlu penguatan ekonomi dan pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Ini semua membutuhkan sistem ekonomi dan moral para pelaku ekonomi yang baik. Perihal pemberantasan KKN harus dijaga oleh law enforcement atau penegakan hukum yang tegas.

Duet ini juga bertekad untuk mengukuhkan martabat bangsa melalui pembangunan karakter kepribadian dan kemampuan bangsa.

Ketika ditanya soal peluang duet ini untuk memenangkan pilpres, Megawati menjawab, "Orang kok lucu ya, nanyanya soal menang kalah terus. Kami jadi capres dan cawapres itu untuk kepentingan negara.”

Megawati menjelaskan kesediaannya untuk maju sebagai calon presiden-wakil presiden pun demi kepentingan bangsa dan negara. Mengenai hasilnya, semuanya diserahkan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Hal itu juga merupakan pendidikan politik untuk bisa menerima bagaimana berdemokrasi dengan baik. “Jadi, semuanya tergantung keputusan rakyat. Pilpres secara langsung itu kan wujud kedaulatan rakyat," jelasnya.

Mega meminta rakyat untuk tidak grusa-grusu. Ia mengajak rakyat agar memilih secara cerdas pimpinan nasional dalam pilpres langsung 5 Juli mendatang. Menurutnya, para tokoh yang tampil di ajang pencapresan sekarang bukan sekadar komoditas reklame yang diekspos habis sebagai berita oleh pers.

Penjualan Aset Negara
Ditanya soal penjualan sejumlah aset negara yang terjadi pada masa pemerintahannya, Mega meminta agar semua pihak tidak begitu saja langsung menuduh bahwa hal tersebut merugikan Indonesia. Menurutnya, pengkritik harus tahu persoalannya lebih dalam.

“Mesti paham peliknya membangun kembali rongsokan yang ditinggalkan pemerintahan masa lalu. Keadaannya kan kocar-kacir. Harus dilihat juga apakah betul aset-aset itu benar-benar dijual atau tidak," jelasnya.

Bajing Loncat
Menjawab pertanyaan tentang menteri yang mengundurkan diri untuk menjadi Capres dan Cawapres dan upayanya untuk menjamin kelangsungan pemerintahan di tengah kekhawatiran mengenai kemungkinan merosotnya kinerja kabinet dalam setengah tahun ke depan, Presiden Megawati Soekarnoputri menyatakan, masalah yang terjadi dalam Kabinet Gotong Royong sekarang merupakan pembelajaran politik dalam masa berdemokrasi. "Apakah (berpolitik) itu memang hanya sekadar sebagai bajing loncat atau memang akan berpikir untuk kepentingan nation (bangsa) kita," katanya.

Ia mempertanyakan apakah kegiatan berpolitik selamanya merupakan kegiatan politik praktis saja tanpa ada suatu etika dan moral ataukah memang dimaksudkan sebagai sebuah pengalaman besar sebagai bangsa. Semestinya, kata Mega, permainan politik dengan fondasi demokrasi yang sudah mulai mantap bisa mengarahkan orang untuk mulai tahu apa yang harus dilakukan dan menempatkan di mana posisi mereka sebenarnya harus berada.


Mega memang tidak menyebut nama menterinya yang kini menjadi capres-cawapres maupun menteri yang menjadi tim sukses capres-cawapres lain. Tiga menterinya mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres. Mereka adalah Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan M Jusuf Kalla yang menjadi pasangan capres-cawapres. Kemudian, Menteri Perhubungan Agum Gumelar juga mundur dan memilih menjadi cawapres mendampingi capres Hamzah Haz yang kini masih menjabat sebagai Wakil Presiden.

Selain itu, menteri yang menjadi anggota tim kampanye paket capres-cawapres tertentu, antara lain, Hatta Radjasa, Yusril Ihza Mahendra, dan Syamsul Muarif.


Menurut Mega, apa yang terjadi di tubuh Kabinet Gotong Royong saat ini mungkin bisa menjadi masalah. Karena itu, dengan fondasi demokrasi yang mulai mantap di negeri ini, anggota kabinet harus ingat dan tahu posisi. "Sekarang masa reformasi. Kita mulai meninggalkan serpihan yang terjadi di masa lalu. Jadi, kita tidak bisa selamanya berpolitik praktis tanpa ada etika dan moral," ujarnya.

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2004 mengenai kampanye pemilu oleh pejabat negara, menteri yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai calon presiden dan wakil presiden dinyatakan non- aktif sebagai menteri. Status non-aktif itu ditetapkan dengan keputusan presiden.

PDI-P-NU
Saat mendaftar ke KPU, Megawati didampingi oleh unsur pimpinan PDI-P antara lain Sekretaris Jenderal Sutjipto, Wakil Sekjen Pramono Anung, Ketua DPP Roy BB Janis, dan calon anggota legislatif dari PDI-P Marissa Haque. Dari unsur PBNU hadir Ketua PBNU Ahmad Bagdja, KH Said Aqiel Syiraj, dan KH Nur Iskandar.

Sebelum menyerahkan berkas persyaratan pencalonan Mega-Hasyim, Sekjen PDIP Sutjipto menyatakan, dwitunggal yang diajukan PDI-P ini bukanlah sesuatu yang mendadak. Melainkan sudah melalui proses internal yang demokratis serta pemikiran mendalam lahir batin dengan segala konsekuensinya.

Sejak kongres di Semarang pada 2000, PDI-P sudah menobatkan Megawati menjadi capres 2004-2009. Sementara, Hasyim pun sudah membicarakan pencalonannya dengan para kiai sesepuh NU. Selain itu, sebagai muslim, Pak Hasyim juga sudah berdoa di Multazam, Makkah, untuk menerima pinangan PDI-P. Puncak proses pencapresan duet Mega-Hasyim adalah deklarasi bersama di Tugu Proklamasi, Jakarta, 6 Mei 2004.

Menurut Sutjipto, PDI-P dan NU pada dasarnya memiliki visi yang sama. “Kedua lembaga ini sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia," ujarnya.

Sementara di tempat terpisah, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur Ali Maschan Moesa mengatakan, sejauh ini belum ada arahan dari PWNU Jatim kepada nahdliyin untuk mendukung warga NU yang mencalonkan diri dalam pemilu presiden 2004. Namun ia menandaskan, Hasyim Muzadi sudah lama bergabung dengan NU. "Kalau Salahuddin kan, baru saja," katanya.


Perihal Tim Kampanye Mega-Hasyim, Wakil Sekjen PDI-P Pramono Anung mengatakan, PDI-P sudah membentuk tim kampanye yang diketuai Sekretaris Jenderal PDI-P Sutjipto. Tim ini beranggotakan sekitar 20 orang, merupakan gabungan dari unsur PDI-P dan Nahdlatul Ulama, di antaranya Rois Syuriah Pengurus Besar NU Said Agil Siradj serta Ketua PBNU Ahmad Bagja dan Andi Jamaro Dulung.

Pilih Menteri yang Mau Bekerja
Megawati menilai, masalah terberat bangsa Indonesia saat ini adalah lemahnya mental bangsa. Oleh karena itu dalam mengisi kabinet mendatang, bila terpilih lagi menjadi presiden, dia akan mencari orang yang mengerti masalah dan mau bekerja.

Ia tidak akan melihat apakah menteri yang dipilih itu nanti dari kalangan parpol atau partisan atau nonpartisan. Ia hanya melihat kepribadian orang itu, apakah mau bekerja atau tidak, sekaligus mengerti masalah. "Kan susah cari pekerja sekarang. Kalau yang bicara saja banyak," kata Mega pada saat diwawancarai pers di kediamannya Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Rabu 12 Mei 2004 sore.

Rabu sore itu Megawati bertemu dengan pengurus Partai Damai Sejahtera (PDS) di kediaman Mega. Pertemuan itu tidak membicarakan kabinet. "Kami hanya bertukar pikiran," katanya.

Dalam pembicaraan itu, Mega mengatakan, masalah pokok yang dihadapi bangsa ini sangat banyak dan cukup berat. Di antaranya yang utama pembangunan mental bangsa. Berdasarkan pengalamannya, pembangunan sulit dilakukan karena sejak awal bangsa ini tidak dipacu untuk maju.

Dikemukakan, soal ujian akhir nasional (UAN) yang menjadi perdebatan beberapa waktu lalu memperlihatkan betapa masyarakat tidak dipaksa untuk maju.

Dulu, katanya, kita pernah masuk dalam satu proses ketika seorang manusia Indonesia yang sedang belajar minimal harus mendapat angka enam supaya lulus. Tapi, entah kenapa tiba-tiba diturunkan menjadi tiga. Ketika ia tanyakan kepada Menteri Pendidikan, ia minta itu dinaikkan menjadi lima. Tapi, kemudian didemo, sehingga menjadi 4.

Menurut Mega, dengan dasar yang tidak bagus tersebut membuat masyarakat sulit dididik menjadi bangsa yang pintar. "Biar pendidikannya baik, tapi apa yang ingin dicapai jika dasarnya hanya tiga atau empat," tanyanya.

Kekhawatirannya tentang kemalasan belajar ini terbukti dari angka yang diperolehnya dari perbandingan minat mahasiswa yang belajar ilmu eksak dan ilmu sosial. Ternyata perbandingannya 1;9.

Beratnya masalah yang dihadapi bangsa inilah yang kemudian membuat Mega memilih Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden.

"Itu mengapa saya mengambil Pak Hasyim, untuk mengatasi masalah bangsa ini. Beliau bisa diikutsertakan berpikir apa yang terbaik untuk membangun mental bangsa ini, sebab tanpanya kita tidak bisa mendidik bangsa ini," tambahnya.

Agar program bisa dilaksanakan dengan baik Mega berharap komponen bangsa mau mendukungnya. "Biar tangan kami 1.000 kalau rakyat tidak mau ikut memikirkan masalah ini maka akan sulit terealisasi," katanya.

Keikutsertaan masyarakat bahkan menjadi hal utama, karena negara saat ini tidak memiliki dana yang cukup untuk memberi subsidi yang cukup tinggi untuk pendidikan. Beban utang yang cukup tinggi, yang dicetak oleh pemerintahan di masa lampau, memberikan konsekuensi logis Indonesia harus membayarnya dalam jumlah yang cukup besar.

Mengenai program kerja bila terpilih lagi menjadi presiden, Megawati mengatakan, tidak merencanakan hal yang muluk-muluk. Programnya masih sama dengan yang dilaksanakan selama tiga tahun pemerintahan saya, tapi lebih diperdalam, sebab selama tiga tahun ini belum bisa dituntaskan masalah. Untuk memantapkannya harus ada kesinambungan.

sumber :http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi

Sudah Terbukti dan Teruji


Dua ‘saudara tua’ itu bertemu dalam satu paket Calon Presiden-Wakil Presiden Pemilu 2004. Hj. Megawati Soekarnoputri yang Ketua Umum DPP PDI Perjuangan dari kaum nasionalis-religius dan KH Hasyim Muzadi yang Ketua Umum PB-NU dari kaum religius-nasionalis. Keduanya mewakili dua arus besar aliran sosio politik, kultural, dan keagamaan Indonesia.

Berdasarkan undian pada Minggu, 23 Mei 2004, diantara lima pasangan capres-cawapres, pasangan Mega-Hasyim mendapat Nomor Urut 2 yang jika disimbolkan dengan jari tangan mengusung makna V atau victory, yang berarti kemenangan. Mega yang kini sedang menjabat presiden, memang sudah teruji dan terbukti membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan warisan Orde baru.

Kaum nasionalis dan nahdliyin sangat dikenal dan identik sebagai dua saudara tua sekandung. Keduanya sepanjang sejarah republik selalu saling bahu-membahu merebut, mempertahankan, sekaligus mengisi kemerdekaan dengan ikhtiar memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pas di sore hari yang sama mendaftar ke KPU, pimpinan teras Partai Damai Sejahtera (PDS) yang membawakan gerbong kereta kaum nasrani dan minoritas lainnya langsung menuju kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar Nomor 27-A, Menteng, Jakarta Pusat, untuk menyatakan bergabung dan mendukung duet baru Mega-Hasyim.

Spektrum dukungan luas kepada Mega-Hasyim seketika berubah menjadi mega harapan baru dari kaum nasionalis, nahdliyin dan umat Islam umumnya, nasrani, serta segenap minoritas lainnya.


Kaum nasionalis dimotori oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang pada 4 Juli 1927 didirikan dan dipimpin langsung oleh Presiden Pertama R.I Ir Soekarno. Di tingkat akar rumput lain kaum nahdliyin dimotori oleh para ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi sosial keagamaan tertua di tanah air yang pada tahun 1926 didirikan oleh KH Hasyim As’yari, kakek Guru Bangsa KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.


Duet Mega-Hasyim bukan hanya memuaskan kerinduan rakyat kebanyakan bertemunya dua saudara tua sekandung sebagai calon pimpinan nasional di bumi pertiwi Indonesia. Juga bukan hanya menjanjikan perolehan suara yang sangat signifikan dari kaum nasionalis dan nahdliyin.


Yang terutama adalah, munculnya harapan besar baru akan perbaikan nasib bangsa terutama di tingkat akar rumput para wong cilik dan nahdliyin. Harapan besar baru itu wajar sebab dalam tiga tahun terakhir kepemimpinannya sebagai Presiden RI ke-5, Megawati terbukti sukses memimpin negara membawa keluar dari krisis multidimensional berkepanjangan bahkan mampu membuat catatan emas 32 keberhasilan cemerlang di bidang ekonomi.

Berantas korupsi
Mega-Hasyim sepakat untuk mewujudkan Negara Indonesia yang berdaulat, makmur, adil, aman, demokratis, dan bersih, sebagaimana diamanatkan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mega, saat mendaftar ke KPU, antara lain menyebutkan, selama lima tahun khusunya tiga tahun terakhir dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI ke-5 dia telah bekerja keras mewujudkan visi dan misi Indonesia yang berdaulat kendati diliputi suasana krisis multidimensi yang tidak mudah dia selesaikan. Karenanya, Mega masih ingin melanjutkan visi dan misi yang telah dilakukannya itu untuk Indonesia.


Misi yang sudah dilakukan dan tetap hendak dilanjutkan oleh Megawati dalam lima tahun ke depan, untuk merealisasikan Indonesia yang berdaulat, itu pertama adalah memperkokoh NKRI sebagai kedaulatan bangsa dan negara. Kedua, mewujudkan kemakmuran dan keadilan rakyat melalui pembangunan ekonomi yang bertumpu pada kemandirian dalam era globalisasi. Ketiga, mewujudkan persamaan warga negara sebagai pondasi dari prinsip kemajemukan dalam persatuan. Keempat, mewujudkan kedaulatan rakyat melalui penguatan kelembagaan, mekanisme, dan praktik politik demokratis. Kelima, mengukuhkan martabat bangsa melalui pembangunan karakter, kepribadian, dan kemampuan bangsa.


Duet Mega-Hasyim juga sepakat tentang sebelas pokok kebijakan yang akan dilaksanakan jika terpilih menjadi pimpinan nasional. Sebelas pokok kebijakan Mega-Hasyim itu adalah, berupaya menguatkan kehidupan berdemokrasi, mempercepat reformasi aparatur pemerintahan dan sistem pelayanan publik, menciptakan keamanan ketertiban serta kepatuhan hukum, menguatkan sistem pertahanan keamanan nasional, penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya saing internasional, pemantapan kesinambungan fiskal, peningkatan kualitas kehidupan beragama, penguatan kesadaran moral dan etika, penguatan kehidupan berbudaya, dan peningkatan kualitas keolahragaan.


Hasyim Muzadi menyebutkan, tujuan visioner dirinya mau maju bersama Megawati adalah membangun Indonesia yang berdaulat dalam politik, kemandirian ekonomi, martabat kebudayaan, dan harkat kebangsaan internasional. Dikatakannya, untuk mewujudkan itu semua perlu dilakukan pengokohan politik pada wawasan lintas partai politik. Sebab tanpa kesatuan wawasan partai politik akan sulit membangun politik Indonesia ke depan.


Untuk kemandirian ekonomi, menurut Hasyim, yang harus dilakukan adalah penguatan ekonomi kelas menengah ke bawah dan pemberantasan korupsi sampai ke akar-karnya. “Kita juga harus menjadikan Indonesia negeri yang beragamakan dan agama untuk kebangsaan. Ironisnya, Indonesia yang dipimpin oleh orang beragama tetapi uang negara justru dihabiskan oleh orang-orang yang beragama,” kata Hasyim kepada wartawan.

Lebih mencintai ayahnya
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan yang kini menjabat sebagai Presiden R.I., mempunyai nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri. Dia lahir di Yogyakarta pada 23 Januari 1947 di tengah-tengah kancah revolusi mempertahankan kemerdekaan, persis tatkala Ibukota Negara R.I hijrah dipindahkan ke Yogyakarta untuk menghindari agresi militer Belanda yang masih berniat menjajah. Yogyakarta ketika itu adalah daerah steril di bawah kekuasaan Sultan Hamengkubuwono IX yang berpihak kepada Republik.


Megawati adalah putri sulung pasangan Ir Soekarno-Fatmawati. Ibu Fatmawati penjahit bendera pusaka merah-putih, itu adalah istri ketiga Ir Soekarno setelah istri pertama Siti Utari yang anak H.O.S. Tjokroaminoto, dan istri kedua Ibu Inggit dari Jalan Ciateul, Bandung. Menginjak hingga 17 tahun usia perkawinan Soekarno-Inggit belum dikarunia satu orang anak pun.


Ibu Fat terkenal sangat setia terhadap Soekarno. Ibu Fat selalu mengiringi proklamator suaminya itu kemanapun pergi. Dengan mempertahankan jiwa raga Ibu Fat mendampingi Soekarno berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.


Dua saudara kandung adik perempuan Megawati adalah Rachmawati Soekarnoputri dan Sukmawati Soekarnoputri. Dan dua saudara kandung lelakinya adalah Guntur Soekarnoputra dan Guruh Soekarnoputra. Menikah dengan Taufiq Kiemas, Megawati adalah seorang ibu rumahtangga yang dikaruniai tiga orang anak, yakni M Rizki Pratama, M Prananda Prabowo, dan Puan Maharani.


Masa sekolah dasar SD hingga menengah SMA dia lalui di Perguruan Cikini (Yapercik), Jakarta Pusat. Dia pernah dua kali menempuh kuliah namun keduanya tidak pernah berakhir hingga selesai, yakni di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran tahun 1965-1967, serta di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 1970-1972. Kedua masa kuliah itu adalah masa-masa kritis sakit keras ayahnya Soekarno menjelang akhir hidup yang tragis berada di bawah pengebirian rezim Orde Baru.


Megawati yang putri sulung rela mengorbankan meninggalkan bangku kuliah untuk harus mengurus ayahnya, yang nota bene adalah Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus Bapak Bangsa pendiri NKRI yang sakit keras. Megawati lebih memilih mencintai ayahnya yang korban rekayasa dan disain besar politik kotor Orde Baru, ketimbang mengikuti kuliah. Dia adalah anak gadis yang baik ketika itu sehingga tak heran bila di kemudian hari dia menjelma menjadi ibu yang baik pula, bahkan menjadi Ibu Bangsa yang sangat baik sebab berhasil menyelamatkan bangsanya dari krisis multidimensional yang lama membelenggu.

Tetap diam saat diinjak
Walau tak lama menjalani kuliah di Universitas Pajajaran Bandung 1965-1967 masa singkat itu dimanfaatkan betul gadis muda Mega untuk mengasah ketajaman visi politik dengan terlibat sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sebuah ormas mahasiswa ekstra universiter beraliran nasionalis. Sama seperti pria lain yang kelak ternyata menjadi suaminya, Taufiq Kiemas. Di GMNI pembawaan dan kepribadian Mega sangat tenang dan cenderung pendiam bahkan susah untuk bicara.


Di kemudian hari Megawati si “anak revolusi” ini besar sebagai seorang perempuan yang tetap mempunyai sifat dan kepribadian pendiam, kalem, lemah lembut, dan sangat feminim.


Sikap diam tak banyak bicara dipandang banyak orang sebagai sebuah kekuatan sekaligus kelemahannya berpolitik. Dia mengawali karir politik sebagai Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Jakarta Pusat tahun 1987-1992. Dia diam dan tetap diam tak banyak bicara walau rezim Orde Baru menghambatnya naik ke puncak Ketua Umum DPP PDI 1993-1998. Demikian pula sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan 1998-2003, Wakil Presiden RI 1999-2001, bahkan hingga menjadi Presiden RI ke-5 2001-2004 dia masih lebih banyak diam. Ketika dia dizolimi lewat penyerbuan Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 dia tetap diam tak banyak bicara. Dia teguh pada pendirian berjuang tanpa kekerasan.


Oleh para lawan politik termasuk pengamat menilai sekaligus menuding diamnya Megawati sebagai indikasi kebodohan. Keharusan mengadakan debat publik antar kandidat calon presiden sejak tahun 1999 selalu dimunculkan dengan maksud untuk menurunkan tingkat popularitas Mega.
Perlakuan zolim yang dia terima dan dijawabnya dengan sikap diam, menjadikan namanya terpatri sebagai simbol korban tekanan politik rezim Orde Baru. Pada hal berbeda dia juga simbol kongkret bentuk perlawanan politik secara damai dengan tak banyak bicara. Dia tak ingin membalas kekerasan dengan kekerasan.


Pilihan sikap diam sesungguhnya sudah sejak lama dia anut. Yakni, tatkala melewati pergumulan hidup menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya yang masih menjabat Presiden, di tahun 1952 telah menjadi korban rencana pembunuhan lewat pelemparan granat yang gagal mengenai sasaran, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, tempat Megawati sekolah.


Diamnya Mega ternyata berbuah emas. Dia tak mudah terombang-ambing. Dan semakin sulit saja ditebak arah kebijakan politiknya. Lawan politik dibuatnya kalang kabut dan selalu penasaran. Dia dianggap tidak ada apa-apanya. Padahal dia penuh kharisma. Hanya karena dia banyak diam dan dianggap tidak ada apa-apanya, oleh keluarga besar Bung Karno dan rezim Orde Baru akhirnya dia “diizinkan” terjun ke politik praktis.

Dia resmi memasuki kancah politik praktis sejak tahun 1986 saat bersedia mengisi daftar formulir calon anggota legislatif dari PDI untuk Pemilu 1987. Mega tampil menjadi sebuah ikon baru di pentas perpolitikan nasional. PDI pada Pemilu 1987 berhasil mendulang banyak suara pemilih. Dia sendiri terpilih menjadi anggota DPR periode 1987-1992.


Untuk semakin mengentalkan pelibatan diri dalam politik dia juga terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat periode 1987-1992. Semua dia lakukan praktis dengan diam, diam, dan diam saja tanpa gejolak sehingga tidak menarik perhatian para calon lawan politik termasuk rejim yang sedang berkuasa. Padahal dengan diam dia sesungguhnya secara perlahan namun pasti telah membangun sebuah kekuatan dan pengaruh politik baru yang siap diperjuangkan.


Presiden Soeharto menjadi gelisah sekali tatkala melihat kesimpulan perkembangan pesat karir politik Mega. Pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya Desember tahun 1993, yang lalu berlanjut pada Munas PDI di Jakarta tahun 1994, oleh arus bawah Megawati selalu terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Lebih dari 80 persen peserta Kongres dan Munas selalu memenangkan Mega.

Namun rezim bersikeras lain dan berusaha menjegal dan membatalkan kepemimpinan Mega. Walau demikian kepada massa pendukung di arus bawah Mega selalu mengatakan bahwa secara de facto Ketua Umum DPP PDI adalah Megawati Soekarnoputri. Secara de jure pemerintahahn rejim Orde Baru tidak pernah mengakui kepemimpinan Megawati melainkan Drs Soerjadi.


Akhirnya pada Juni 1996 Megawati resmi berhasil digusur dari kepemimpinan PDI lewat pelaksanaan Kongres PDI di Medan. Dan puncaknya adalah penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, sebab hanya kantor ituah simbol tersisa kepemimpinan sah Megawati sehigga harus tetap dikuasai oleh kader-kader PDI Pro Megawati. Para kader itu sadar betul Mega dijegal oleh Orde Baru. Karenanya mempertahankan Kantor DPP Diponegoro adalah satu-satunya simbol de facto kepemimpinan Mega yang harus dipertahankan.


Untuk menjaga dan mempertahankan soliditas sesama kader dibawah kepemimpinan Mega, sekaligus untuk membedakannya dengan kader Soerjadi, untuk sementara waktu mereka bermetamorfosa menjadi PDI Pro Mega hingga berlangsung kongres PDI di Bali, Oktober 1998. Kongres Bali 1998 yang sudah dalam suasana tumbangnya rezim Orde Baru, sepakat mengubah nama partai menjadi PDI Perjuangan. Kongres juga mengamanatkan tugas menghantarkan ketua umum yakni Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Republik Indonesia lewat Pemilu 1999. Sebuah amanat sama yang juga muncul pada Kongres PDI Perjuangan di Semarang, tahun 2000.


Pemilu 1999 berhasil membuktikan kepopuleran Megawati lewat perolehan suara 35 persen, terbesar mengalahkan Golkar yang hanya meraih 20 persen suara. Karena pemilihan presiden tahun 1999 masih dilakukan oleh anggota MPR dan sarat dengan perilaku elit politik dagang sapi, Mega yang terbukti memperoleh legitimasi kuat dari rakyat hanya bisa menduduki kursi tertinggi kedua setelah Abdurrahman Wahid saudara tuanya yang terpilih menjadi presiden.

Amanat menempatkan Megawati sebagai presiden baru terealisasi pada 23 Juli 2001 ketika Abdurrahman Wahid harus diturunkan sebagai presiden oleh MPR dengan motor Poros Tengah bentukan Amien Rais dan kawan-kawan. Alasan politis resminya, Gus Dur berani menempuh kebijakan politik membubarkan lembaga negara tertinggi MPR dan DPR sesuatu yang di luar kewenangan seorang kepala negara.

Mega siap debat
Belajar dari perilaku elit politik lima tahun terakhir Megawati mempersiapkan diri sematang-matangnya menjadi presiden baru Indonesia periode 2004-2009. Termasuk mengasah dan mengujicoba keberaniannya berdebat mengadakan tanya jawab langsung dengan para wartawan, di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat mendaftarkan diri bersama Hasyim Muzadi sebagai pasangan calon presiden-wakil presiden, pada Rabu, 12 Mei 2004. Setiap kesempatan bertemu muka langsung dengan rakyat dia berpidato tanpa teks. Seperti, ketika mengadakan panen raya tebu bersama para petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) pimpinan Arum Sabil, di Lumajang, Jawa Timur, pertengahan Mei 2004.


Sebagai presiden yang sedang berkuasa Megawati tidak serta merta memanfaatkan posisinya untuk menaikkan popularitas dengan sering muncul di tengah-tengah masyarakat. Dia sangat selektif sekali. Diminta untuk turun langsung menghancurkan gula impor ilegal, di Tanjung Priuk, Jakarta, misalnya, sebagai perlambang keseriusan pemerintah membantu memperbaiki kehidupan para petani tebu dengan cara pengaturan tata niaga gula, misalnya dengan memperketat impor gula, Mega menolak hadir.

Sikap yang berbeda dengan rezim terdahulu, yang sengaja mengakumulasikan peresmian proyek-proyek pembangunan di hari-hari sangat menentukan menjelang Pemilihan Umum untuk menarik simpati rakyat sesaat. Megawati, juga berbeda dengan kandidat presiden lain yang serta-merta tanpa pernah terjadi sebelumnya selalu mengiklankan diri hingga terkesan over-expose bahkan menjadi tanpa makna.

Ketika berdebat dengan wartawan di Kantor KPU, misalnya, Megawati menekankan agar Pemilu 2004 jangan diposisikan pada kondisi menang-kalah. Melainkan, apa yang bisa diberikan kepada nation atau bangsa. Karenanya, Mega tidak mau menjawab pertanyaan wartawan yang memposisikan kondisi kalau begini dan kalau begitu. “Anda ini senangnya berkalau-kalau saja. Ada pertanyaan lain?”, kata Mega singkat sambil mempersilakan penanya berikut.

Sebuah sikap baru membuka wacana perdebatan. Menjawab pertanyaan wartawan lain tentang bagaimana upaya Mega menjaga kekompakan Kabinet Gotong Royong pimpinannya, yang banyak ditinggalkan para pembantu sebab sibuk berebut kekuasaan di ajang Pemilu Presiden 2004, Mega dengan berani dan tangkas melempar wacana baru dengan menyebut bahwa banyak pembantunya yang ternyata bajing loncat saja.
Megawati adalah pemimpin rakyat yang besar karena selalu bersikap diam saat dizolimi.

Sikap keibuan yang melahirkan banyak simpati dan empati. Bahkan banyak rakyat kecil hingga pembesar serta para selebritis yang rela memberikan sacrifice, atau sebuah pengorbanan terbesar dari diri mereka untuk menunjukkan sikap keberpihakan kepada Mega. Misalnya, seorang anak bangsa Erwin Pardede yang mau menyediakan “tumpangan” rumah menjadi kantor PDI Pro Mega pada saat Megawati dan kader-kadernya dikejar-kejar diburu digusur seolah-olah tak berhak hidup di bumi republik yang nyata-nyata adalah ayahnya yang dahulu mendirikan.

Rakyat banyak yang lain mau menyerahkan sejengkal tanahnya untuk dipakai menjadi Posko PDI Perjuangan. Bahkan, menyedekahkan sedikit uang untuk mencetak kaos berlogo Megawati berikut banteng gemuk bermulut putih dalam lingkaran. Banyak prakarsa, swadaya, dan sikap gotong royong yang sebelumnya merupakan jatidiri dan karakter bangsa, ditujukan kepada Mega kembali tercuat ke permukaan setelah sebelumnya selama 32 tahun dikebiri oleh rezim Orde Baru yang hedonis, egois, dan materialis. Secara singkat langkah sacrifice itu bisa diartikan menolong Megawati yang lemah menjadi kuat dan untuk serta merta menumbangkan rezim lama yang otoriter.

Pemerintahan Mega terbukti sukses
Posisi pemenang Pemilu 2004 menempatkan PDI Perjuangan dan kader-kadernya menjadi berbeda jauh dari sebelumnya. Pada sebagian kecil kader mulai muncul sikap arogan. Lupa kacang akan kulitnya. Belum lagi kemungkinan kebijakan pimpinan teras partai salah. Atau tidak sesuai aspirasi kader di bawah. Tak sedikit pula kader yang tak patuh pada kebijakan pusat partai. Banyak kader yang masuk PDI Perjuangan ternyata berorientasi ekonomi semata. Sehingga, ketika motif itu tak diperoleh selam menjadi anggota partai sikap patriotik terhadap Mega menjadi luntur seketika. Karenanya tak jarang terjadi PDI Perjuangan mayoritas di parlemen namun selalu kalah dalam pemilihan kepala daerah.


Mempertahankan kemenangan menjadi jauh lebih sulit daripada merebutnya. Rakyat kebanyakan mulai menarik dukungannya kepada partai. Pengadilan rakyat sekaligus hukuman kepada PDI Perjuangan langsung terasa pada Pemilu 5 April 2004. Suara PDI Perjuangan hanya 20 persen, atau drastis hilang 15 persen.


Jika partai mengalami pasang surut tidak demikian halnya dengan posisi politik Megawati. Dia tetaplah Megawati yang dahulu lebih banyak diam ketika dizolimi. Sebagai misal, ketika seorang anggota kabinetnya sering muncul di televisi sebelum berlangsung Pemilu 5 April, menteri itu membawakan iklan layanan masyarakat Pemilihan Umum mengatasnamakan kantor kementerian koordinator yang dipercayakan kepadanya, yang menyiratkan mencuri start kampanye. Sebab, menteri itu adalah pendiri sebuah partai politik bahkan akan dicalonkan sebagai calon presiden yang akan ikut Pemilu Presiden 2004. Kepadanya dan tentangnya Mega diam saja.


Beberapa menteri lain yang pernah diangkatnya sebagai pembantu ternyata tidak mampu menunjukkan pengabdian kepada bangsa dan negara hingga akhir tugas. Sebab, sebelum berakhir masa tugas Oktober 2004 menteri-menteri itu lebih tertarik mengejar kekuasaan menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Walau kekompakan kabinet tergerogoti oleh ulah mereka, dengan berani Mega menyebut di kabinetnya ternyata terdapat banyak bajing loncat.

Pernyataan itu adalah sebuah keberanian baru dari Mega membuka wacana perdebatan, dengan memunculkan cap dan isu bajing loncat kepada para menteri yang dengan mudah meninggalkan kekompakan Kabinet Gotong Royong. Sebab, kabinet itu awalnya disepakati dan dibangun bersama-sama oleh lintas fraksi. Megawati hampir di ujung tugas harus berjuang keras menopang keutuhan kabinet hingga pemerintahan baru terbentuk Oktober 2004.


Berhasil memperbaiki stabilitas ekonomi makro namun dituding bukan keberhasilan pemerintahannya, Mega pun diam saja. Indikator ekonomi makro jelas-jelas menunjukkan berbagai keberhasilan baru yang belum pernah dicapai sebelumnya. Mega berhasil mencatatkan tinta emas 32 indikator keberhasilan ekonomi yang gemilang. Misalnya, tingkat suku bunga perbankan yang turun hingga angka terendah, tingkat cadangan devisa negara yang tertinggi dalam sejarah, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, dan berbagai indikator keberhasilan lainnya. Terhadap semua tudingan termasuk penjualan aset-aset negara, kritik dan penzoliman itu tidak Mega tanggapi dengan reaktif. Melainkan, Mega balas mengkritik balik pengkritiknya secara konstruktif.

Ulama religius yang nasionalis
Akan halnya KH Hasyim Muzadi yang kelahiran Tuban, Jawa Timur 8 Agustus 1944, berharap dapat berperan besar memajukan kesejahteraan lewat pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya. Kehadiran kyai pimpinan Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang, ini serta merta menjadi simbol baru upaya pemberantasan korupsi dalam gerbong kepresidenan Mega.


Hasyim menyebutkan duetnya dengan Mega adalah awal dikikisnya dikotomi Islam abangan dan Islam santri, sesuatu yang selama berabad-abad selalu mengemuka. Sebab dasarnya adalah, sebagian besar warga PDI Perjuangan adalah orang Islam yang tinggal di desa-desa. Demikian pula orang-orang NU tinggal di desa-desa. Karenanya, pekik dalam duet Mega-Hasyim adalah pekik Merdeka dan Allahuakbar. Hasyim juga berharap duetnya dengan Mega bukan hanya dimaksudkan untuk mampu membentuk skala pemerintahan. Namun, juga mampu membentuk dimensi kultural untuk menjamin kekokohan persatuan rakyat.


KH Hasyim Muzadi memiliki nama lengkap Abdul Hasyim Muzadi. Ayahnya bernama H. Muzadi, sedangkan ibunya Hj. Rumyati. Memperistri Hj. Muthomimah, Hasyim dikaruniai enam putra-putri.


Riwayat pendidikan Hasyim Muzadi menunjukkan, dia menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Tuban, Jawa Timur 1950-1953, Sekolah Dasar Tuban 1954-1955, SMP Negeri I Tuban 1955-1956, KMI Gontor, Ponorogo 1956-1962, Pondok Pesantren Senori, Tuban 1963, Pondok Pesantren Lasem, Jawa Tengah 1963, dan IAIN Malang, Jawa Timur 1964-1969, dan pendidikan bahasa tahun 1972-1982. Hasyim adalah aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Ansor, dan NU.


Sebelum menjadi Ketua Umum PB NU 1999-2004, Hasyim Muzadi mengawali karirnya sebagai Ketua Ranting NU Bululawangan, Malang, Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang 1965, Ketua Cabang PMII Malang 1966, Ketua KAMI Malang 1966, Ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971, Wakil Ketua PCNU Malang 1971-1973, Ketua DPC PPP Malang 1973-1977, Ketua PCNU Malang 1973-1977, Ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987, Ketua PP GP Ansor 1985-1987, Sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992, dan terakhir Ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999. Hasyim Muzadi pernah tercatat sebagai Anggota DPRD Tingkat II Malang, Jawa Timur, serta Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987.


Tinggal di Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Malang, Jawa Timur, tiga buah buku pernah dia hasilkan sebagai buah pemikiran Hasyim Muzadi. Yakni, “Membangun NU Pasca Gus Dur”, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta, tahun 1999. Lalu, “NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa,” penerbit Logo, Jakarta, 1999, serta buku “Menyembuhkan Luka NU”, penerbit Logos, Jakarta, tahun 2002.


Hasyim Muzadi adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB-NU) yang laris dilirik sebagai calon wakil presiden. Misalnya, oleh Akbar Tandjung yang Ketua Umum DPP Partai Golkar, dan Wiranto yang terpilih sebagai kandidat presiden Partai Golkar melalui konvensi. Hayim harus meminta maaf kepada keduanya sebab tak bisa memenuhi keinginan keduanya. “Alasannya bukan apa-apa, saya tak bisa menerima tawaran dua sekaligus,” kata Hasyim. Sama seperti ungkapan, seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan, sebab jika hamba itu mengasihi tuan yang satu maka dia akan membenci yang lain.


Selain oleh Akbar Tandjung dan Wiranto, Partai Amanat Nasional (PAN) juga sempat melirik Hasyim Muzadi. Bahkan, di internal PBNU dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nama Hasyim sempat sangat dijagokan sebagai calon presiden maupun sebagai calon wapres mendampingi Gus Dur dari PKB. Namun semuanya terganjal oleh figur Gus Dur yang tetap mempunyai keinginan maju mencalonkan diri. Tidak mengherankan tampak kasat mata bagaimana Gus Dur kurang menyukai pencalonan Hasyim Muzadi, yang mencuatkan kepermukaan kekurangharmonisan hubungan mereka.


Sejumlah Badan Otonom Nahdlatul Ulama, yang terdiri dari GP Ansor, Muslimat, Fatayat, Ikatan Pelajar NU (IPNU), dan Ikatan Putra-Putri NU (IPPNU), sesungguhnya sudah pernah meminta agar PKB mencalonkan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi sebagai pendamping KH Abdurrahman Wahid.
Dalam sebuah rapat pleno PBNU, di Jakarta, Sekjen IPNU Syamsudin Pay membacakan hasil kesepakatan lima badan otonom NU itu. Selain itu, Ketua PBNU Andi Jamaro Dulung juga membacakan surat 22 Pengurus Wilayah (PW) NU dengan permintaan serupa. Rapat itu dihadiri, antara lain oleh Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudz, Wakil Rais Aam KH Fachrudin Masturo, Katib Aam Masdar Farid Mas’udi, dan beberapa anggota Syuriah PBNU seperti KH Dimyati Rais yang menjadi Ketua Dewan Syura Partai Kejayaan Demokrasi (Pekade) pimpinan Matori Abdul Djalil.


Organisasi-organisasi yang berada di bawah naungan NU juga meminta agar NU, yang mempunyai basis massa 45 juta orang pemilih, berkomunikasi dengan kekuatan strategis bangsa lain termasuk TNI dan partai politik, untuk bekerja sama menjaga keutuhan bangsa dan negara.


Hasyim Muzadi sejak semula berpendirian bahwa NU sebagai ormas Islam terbesar dengan jumlah anggota mencapai 45 juta orang, tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan. Ia juga ingin menjaga agar Umat Islam, terutama kaum nahdliyin, tidak terkotak-kotak dalam politik aliran. Namun, bila ada warga NU yang ingin aktif di politik, sama sekali tidak ada halangan. Tetapi, tidak membawa bendera NU secara kelembagaan dalam kiprah politiknya. Paling tidak, hal itu berlaku untuk masa sekarang. Hasyim selalu menekankan pencalonannya dengan Mega tidak dikaitkan dengan posisinya sebagai Ketua Umum PB-NU.


Namun menurut Hasyim, siapapun kader NU yang tampil menjadi pemimpin bangsa sepanjang membawa visi nasional Indonesia secara utuh, akan disambut baik. NU akan merespons siapapun ketika yang dibicarakan itu masalah nasional dan utuh. Ketika mereka melakukan (atau) tampil sebagai partisan politik, itu sepenuhnya terserah anggota mau pilih atau tidak.


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi dalam menjalankan organisasinya memiliki prinsip bahwa NU tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik (parpol) pada Pemilu 2004. Menurut dia, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup menyulitkan posisi NU.


Pengalaman pahit selama 21 tahun menjadi partai politik periode 1952 sampai 1973, kata Muzadi, menjadi pertimbangan signifikan dari Pengurus Besar untuk mengubah bentuk organisasi itu. Waktu itu, kata Muzadi yang sempat menjadi Ketua NU Cabang Malang, kerja orang-orang NU hanya memikirkan kursi legislatif. Sementara kerja NU lainnya seperti usaha memajukan pendidikan dan intelektual umat terabaikan.


Menjelang Pemilu 2004 NU selalu didorong oleh berbagai kelompok untuk menjadi partai politik. Desakan menjadi parpol juga datang dari kelompok dalam NU (kalangan nahdliyin). Tetapi sikap NU tidak goyah. Politik merupakan salah satu kiprah dari sekian banyak sayap NU. Di mata Muzadi, partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan. Sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Di sisi lain NU dituntut memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik.


Mengenai pemimpin bangsa, menurut Muzadi, NU tidak berpikir bagaimana mengajukan calon dari NU. Tapi, yang dipikirkan, adakah calon dari mana pun yang mampu melakukan recovery, penyembuhan terhadap Indonesia. Hal itu menurutnya harus lebih dulu dipikirkan intern NU.


Menanggapi duet Mega-Hasyim berikut peluangnya, pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur KH Yusuf Hasyim pernah mengatakan, cocok tidaknya Mega-Hasyim tidak tergantung penilaian para nahdliyin melainkan tergantung pada pasangan itu sendiri. Yusuf Hasyim menegaskan pula, NU ingin menghilangkan kesan feodal yakni meminta-memberi restu, dukungan, izin, dan sebagainya. Sebab itu urusan pribadi. “Kalau bagus, tanpa didukung pun akan bagus berhasil,” ujar Yusuf. Karenanya, Yusuf Hasyim berpesan agar umat Islam jangan keliru memilih presiden. Umat jangan memilih presiden hanya berdasarkan figur tetapi juga melihat aktor intelektual di belakang pencalonan.

Pemimpin Sang pluralis
Hasyim dikenal sebagai sosok kiai yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim cukup nasionalis dan pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas melakukan. Itu sebabnya, dalam sebuah kesempatan kunjungan ke Amerika Serikat, Hasyim benar-benar seperti mengabdikan diri bagi kepentingan lebih besar.

Salah satunya ia tunjukkan dalam bentuk memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional.
Ketika terjadi peristiwa ditabraknya gedung WTC di New Yorlk pada 11 September 2001, di mana AS langsung menuduh gerakan Al Qaeda sebagai pelaku dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaring Al Qaeda, posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan berarti persoalan selesai.


Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan dunia luar secara intensif. Tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indonesia dengan internasional dan AS, itu makin positif. Apalagi, di tengah keterpurukan ekonomi, sosial, dan keamanan di Indonesia saat ini kerja sama internasional jauh lebih berfaedah daripada keterasingan internasional.


Hasyim Muzadi pun menjadi tokoh yang mendapat tempat untuk diundang pemerintah AS memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran itu langsung dari pemimpin ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga bersyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar.


“Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,” ujar Hasyim.


Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia -betapapun jumlah dan kekuatannya cuma segelintir- Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Jangan sekali-kali menggunakan represi. Bukan hanya kontraproduktif, tapi bisa memunculkan radikalisme betulan. Sekali AS bertindak, seperti dilakukannya di Afghanistan atau negara-negara Timur Tengah lain, dengan intervensi langsung, hasilnya bisa runyam. Indonesia tidak bisa dipukul rata dengan Timur Tengah atau negara-negara lain.


Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.


Di sisi lain, AS sadar perlunya menggalang pengertian dan kerja sama dengan Islam moderat di dunia. Di AS sendiri, ada sekitar 5 juta penganut Islam dan kini menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya dibandingkan agama-agama lain.


Muzadi juga mengakui, pejabat AS memang memiliki pandangan sendiri tentang masa depan, dunia Islam, dan terorisme. Namun banyak senator AS yang berharap Indonesia menjadi komunitas muslim yang pada masa depan bisa bersahabat dengan dunia. “Itu istilahnya mereka,” kata Hasyim. Sedangkan ukuran AS adalah Indonesia bisa mengatur diri sehingga tak menjadi sarang “kekerasan”. Namun, menurut Muzadi, yang cukup menggembirakan adalah tidak ada rencana AS sedikit pun untuk menyerang Indonesia.


Duet Mega-Hasyim menyiratkan sebuah mega harapan baru sebagai ekspektasi yang tak terlalu berlebih-an.

sumber : http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi

Pemimpin Berkepribadian Kuat


Majalah Forbes Edisi 4 September 2004 menempatkannya perempuan kedelapan terkuat dunia. Dia pemimpin berkelas dunia. Seorang pendiam berkepribadian emas. Presiden RI ke-5 ini teguh memegang prinsip, konsisten dan visioner. Dia seorang pejuang sekaligus simbol dan inspirasi reformasi. Perjuangannya menegakkan demokrasi (ketika demokrasi terpasung) telah memicu keberanian tokoh-tokoh lainnya ikut dalam gerbong reformasi, yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh dan pahlawan reformasi. Jika jujur, harus diakui bahwa tanpa putri pertama Bung Karno, ini reformasi di negeri ini belum tentu terjadi.

Pengakuan dunia bahwa Megawati Soekarnoputri seorang pemimpin berkelas dunia, tercermin dari posisinya sebagai salah seorang perempuan terkuat dunia. Sebagaimana dipublikasikan Majalah Forbes edisi 6 September 2004, Calon Presiden yang didukung Koalisi Kebangsaan (PDI-P, Partai Golkar, PPP dan PDS) pada Pemilu Presiden putaran kedua 20 September 2004, ini berada di posisi kedelapan dari 100 wanita terkuat dunia.
Dia sejajar dengan perempuan pemimpin berkelas dunia lainnya, seperti Sonia Gandhi (India) urutan ketiga, Presiden Filipina Gloria Arroyo (9), Perdana Menteri Banglades Begum Khaleda Zia (14), Presiden Sri Lanka Chandrika Kumaratunga (44), pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi (45) dan Mantan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher (21).

Pengakuan ini menggambarkan realitas perjuangan dan kepemimpinan Megawati sangat kuat di mata dunia. Dia pemimpin berkelas dunia. Pengakuan dunia ini, jika mau jujur, sepatutnya mencelikkan mata, akal budi, hati dan nurani setiap orang (baik kawan maupun lawan politik) di dalam negeri, untuk melihat dan mengakui gerak perjuangan dan kepemimpinan Presiden Republik Indonesia kelima ini. Terutama sejak ia berani terjun ke dunia politik saat hak-hak politik di negeri ini terkekang.

Tanpa bermaksud berorientasi menyalahkan masa-masa lalu bangsa ini, Megawati yang pendiam (tak banyak bicara) itu adalah tokoh perempuan pemberani meretas jalan demokrasi dan reformasi saat tokoh-tokoh lainnya (laki atau perempuan) seperti tak punya nyali berhadapan dengan Pak Harto, penguasa Orde Baru selama 32 tahun.

Realitas empirik membuktikan, Megawati yang memiliki kharisma sebagai putri pertama Proklamator Bung Karno, adalah tokoh pemberani yang paling berpengaruh melawan tindakan tidak demokratis dari pemerintah yang cenderung otoriter ketika itu. Saat tokoh-tokoh nasional (termasuk yang kemudian menjadi tokoh dan pahlawan reformasi) masih membungkuk-bungkuk di hadapan Pak Harto, Megawati dengan caranya sendiri, tanpa banyak bicara, secara konsisten telah berani melawan tanpa kekerasan. Dia menempuh jalan demokrasi dan hukum.

Saat tokoh yang lain masih membeo atau diam pasif tak berani, Megawati yang dikekang tampil berani menghadapi berbagai tantangan dan risiko memasuki gelanggang politik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Dia all out dengan keyakinan untuk menegakkan demokrasi dan reformasi di NKRI ini, tanpa kekerasan dan tanpa balas dendam. (Sikap tanpa balas dendamnya telah pula kemudian disalahartikan banyak politisi dan pengamat sebagai kelemahan untuk merongrong kepemimpinannya).

Cobalah kita sejenak menoleh ke belakang. Siapa-siapa tokoh yang berani melawan Pak Harto sebelum Megawati memukul genderang perlawanan terbuka pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya tahun 1993? Hanya sedikit tokoh yang berani bertindak dan bersuara melawan kehendak pemerintah ketika itu.

Barulah setelah Megawati mengadakan perlawanan terbuka terhadap kekuasaan yang represif, nyali tokoh-tokoh lainnya mulai bangkit. Sebagian pada mulanya ikut menambangi, mensupport dan membela perjuangan (perlawanan) Megawati. Dia telah menjadi simbol dan inspirasi perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung otoriter ketika itu. Bukan hanya politisi yang mulai terinspirasi dan terpicu keberaniannya ketika itu, tetapi juga para pengamat yang sebelumnya bungkam atau malah memuja-muji, juga para pengacara dan mahasiswa.

Mereka yang satu garis perjuangan atau tidak dengan Megawati, terinspirasi untuk bangkit bersama. Mereka berkumpul dan berani berorasi menumpahkan segala kemarahan terhadap penguasa yang represif di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta. Keberanian yang dibayar mahal, karena kantor itu diserang aparat dan orang-orang tertentu atas kehendak penguasa. Peristiwa tahun 1996 itu, kemudian dikenal dengan sebutan Kudatuli (Kasus 27 Juli).

Peristiwa itu, tak menyurutkan perlawanan Megawati. Dia sangat sadar bahwa dibutuhkan seorang pemimpin sebagai simbol perlawanan untuk menegakkan demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat di negeri ini. Jika dia surut, gerbong perlawanan yang sudah makin membesar di belakangnya itu pun akan berhenti. Jika gerbong perlawanan itu berhenti, maka reformasi pun tidak akan terjadi. Maka dia pun terus berjuang dengan caranya yang tidak banyak bicara, tapi terus melangkah maju ke medan tempur sesengit apa pun dan menghadapi risiko apa pun itu. Dia kuat bahkan sungguh kuat. Dia perempuan keibuan berjiwa emas dan berhati baja.

Kongres Surabaya
Sebagai suatu gambaran betapa teguh dan kuatnya Megawati dalam menghadapi tekanan penguasa ketika itu, tercermin dari cuplikan perjuangannya pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, Desember 1993. Ketika itu, pemerintah menghendaki Budi Hardjono menjadi Ketua Umum DPP PDI menggantikan ’si anak yang mulai nakal’ Surjadi. Tapi, Megawati yang telah membunyikan genderang menyatakan kesediaan memimpin PDI membuat niat pemerintah mendudukkan boneka di tampuk pimpinan PDI menghadapi perlawanan. Si putri pendiam Megawati mendapat dukungan penuh dari hampir semua cabang dalam pemandangan umum. Resminya, juridis formalnya, hanya tinggal menunggu sidang pemilihan ketua umum.

Melihat dukungan mutlak kepada Megawati itu, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri yang berperan sebagai pembina politik dalam negeri bersama Kasospol ABRI dan segenap jajaran Kakan Sospol daerah tingkat I dan II seluruh Indonesia yang juga ’mengawal’ para peserta kongres ke Surabaya, melakukan manuver mengulur-ulur waktu sidang pemilihan ketua umum sampai masa izin kongres berakhir pukul 24.

Suasana di arena kongres ketika itu, sangat tertekan. Aparat keamanan dengan berbagai perlengkapannya sudah lalu lalang dan berjaga-jaga, layaknya siaga mengepung musuh negara. Malam pukul 20.00 saat peserta kongres makin tertekan dan sebagian besar sudah meninggalkan arena kongres, Megawati tetap bertahan di tempat siap mengikuti setiap detik perkembangan. Ketika itu tersiar isu akan terjadi kerusuhan akibat ricuhnya kongres.

Tak lama, seorang aparat dengan naik panser menemui Megawati. Dengan bersikap siap dan sigap sebagai seorang prajurit, aparat berpakaian tempur itu menyampaikan pesan atasan kepada Megawati agar keluar dari arena kongres dengan naik panser demi keamanan. Sejenak Megawati menatap aparat itu, lalu dengan suara tegas mempersilahkan keluar sebentar. Aparat itu menurut berdisiplin.

`Setelah itu, Megawati menitikkan air mata. Dia menangisi nasib bangsanya. Dia tahu bahwa hal itu hanya taktik busuk penguasa yang tanpa sungkan mengebiri demokrasi. Lalu, setelah menghapus air mata, dia meminta si aparat suruhan itu masuk kembali. Dengan berwibawa, tak terkesan baru menitikkan air mata, dia menyatakan sikapnya dengan tegas bahwa apa pun yang terjadi tak akan meninggalkan arena kongres sampai akhir. “Laporkan kepada atasanmu,” katanya tegas layaknya panglima tertinggi.

Kenapa dia menolak ’perlindungan’ aparat itu? Sebab dia pemberani tanpa kekerasan. Dia siap menanggung segala risiko tanpa melawannya dengan kekerasan. Dia menyadari jika meninggalkan arena kongres maka sekali lagi lonceng kematian demokrasi akan berdentang. Bisa saja penguasa akan melakukan sesuatu untuk menyulut kemarahan massa untuk menciptakan kerusuhan yang akan dijadikan sebagai alasan pembunuhan terhadap demokrasi. Selain itu, dia sadar, jika menuruti ’perlindungan’ yang ditawarkan aparat, dia akan diteriakkan meninggalkan kongres yang akan dijadikan alasan gagalnya kongres.

Sekitar pukul 22.00, dua jam sebelum masa izin kongres berakhir, Megawati bangkit melakukan sesuatu yang tak terduga oleh siapa pun, baik petinggi partai yang loyal kepadanya, maupun yang berlawanan dengannya terutama pemerintah. Dia melakukan konfrensi pers. Saat itu, dia mengeluarkan pernyataan politik yang menegaskan bahwa secara de facto dia telah terpilih menjadi Ketua Umum PDI periode 1993-1998. Kemudian secara de jure akan ditetapkan dalam suatu Munas atau sejenisnya di Jakarta dalam waktu dekat. Kepada semua peserta kongres dan para simpatisan dihimbau untuk pulang ke tempat masing-masing dalam suasana damai, tertib dan tenteram.

Pemerintah dan para lawan politiknya terperangah, tak menduga pernyataan politik yang demikian penting dan brilian itu. Tidak ada lagi alasan merekayasa sesuatu untuk dijadikan kambing hitam kerusuhan akibat ricuh dan molornya jadwal kongres itu.
Itulah genderang perlawanan terbuka dari Megawati. Genderang itu tidak hanya disambut oleh kader dan simpatisan PDI Mega, tetapi disambut berbagai lapisan, lintas agama, lintas golongan dan lintas partai (termasuk kader Golkar yang progresif dan ingin menegakkan demokrasi secara sungguh-sungguh).

Kemudian, Munas PDI di Jakarta tahun 1994 pun terselenggara dan mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI 1993-1998. Pemerintah yang dipimpin seorang jenderal dan ketika itu menggunakan Golkar sebagai alat politik (perpanjangan tangan militer di arena politik) dan terkenal demikian ‘apik’ membentengi kekuasaannya dengan berbagai cara, tampak merasa kecolongan.

Tampak tak menduga si putri pendiam itu akan membunyikan genderang perlawanan. Sehingga kepemimpinan Megawati terus ditekan dan dirongrong. Sampai akhirnya pemerintah berhasil memfasilitasi penyelenggaraan Kongres Luar Biasa PDI di Medan Juni 1996 yang menobatkan kembali Surjadi sebagai Ketua Umum PDI. Namun PDI pimpinan Megawati tak mengakui penyelenggaraan Kongres Luar Biasa di Medan itu. Sehingga timbul kepengurusan ganda PDI di pusat sampai ke daerah.

DPP PDI Mega berkantor di Jalan Diponegoro 57, Menteng, Jakarta Pusat, kantor resmi DPP PDI. Sementara DPP PDI Surjadi atas dukungan pemerintah berupaya merebut kantor tersebut. Maka berduyun-duyunlah orang dari berbagai aliran dan golongan berorasi di kantor itu. Tidak hanya kader dan sipatisan PDI Mega tetapi dari berbagai golongan yang sebelumnya merasa tertekan dan kemudian terpicu keberaniannya melakukan perlawanan terbuka kepada penguasa yang represif.

Lalu, terjadilah Kasus 27 Juli 1996 yang kemudian dikenal dengan sebutan Kudatuli. Perebutan kantor DPP PDI yang memakan banyak korban dan dikira penguasa akan memadamkan keberanian perlawanan Megawati, ternyata malah menyalakan keberanian sebagian besar rakyat, tokoh dan mahasiswa untuk mengadakan perlawanan bersama.

Bangkitlah mahasiswa berdemonstrasi. Hampir seluruh kampus di Indonesia melakukan demonstrasi. Sampai Pemilu 1997, mahasiswa terus demo di dalam kampus. Karena ketika itu, mahasiswa dilarang demonstrasi di luar kampus. Setelah Pemilu 1997, makin banyak pula tokoh yang berani tampil menyuarakan reformasi. Sebagian mereka kemudian digelari sebagai pahlawan reformasi yang bersama mahasiswa memaksa Presiden Soeharto meletakkan jabatan.

Apalagi setelah Presiden Soeharto lengser bertaburanlah tokoh-tokoh reformis, termasuk dari kalangan militer yang menjadi tulang punggung kekuasaan Orde Baru yang militeristik. Bahkan sebagian jenderal yang memegang jabatan penting ketika itu, kemudian menyebut diri sebagai pemimpin menuju perubahan. Mereka menyebut diri reformis tulen dan bahkan dengan lantangnya menyebut Megawati dan tokoh reformis sipil lainnya sebagai reformis abu-abu dan reformis palsu.

Mereka mengklaim bahwa pemerintahan sipil di bawah pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati sangat lemah maka dibutuhkan pemimpin dari jajaran militer. Mereka tampak sudah terlatih melakukan rekayasa, ucapan dan tindakan populis untuk mempengaruhi opini publik demi berkuasanya kembali orang-orang militer di negeri ini.

Beratnya beban ‘sampah’ (krisis multidimensional) warisan penguasa militeristik masa lalu, telah membuat gerak pemerintahan sipil tak mudah bergerak cepat. Hal ini pula diteriakkan para tokoh rekayasa populis untuk mempengaruhi opini publik bahwa seolah pemerintahan sipil tidak mungkin membawa bangsa ini melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih aman, adil dan sejahtera.

Namun, berhasilnya pasangan Mega-Hasyim masuk putaran kedua Pemilihan Presiden 20 September 2004 nanti, telah melahirkan kesadaran bahwa masih sangat banyak orang yang tidak mau terkecoh oleh agitasi, tutur kata yang kedengarannya manis-manis, rekayasa populis, untuk mengembalikan dominasi militer di negeri ini. Rupanya mereka pun secara jernih melihat bahwa pemerintahan sipil adalah pilihan terbaik untuk mencegah bangsa ini kembali ke masa lalu, sekaligus membawa bangsa ini menuju zona demokrasi, damai dan sejahtera.

Pemimpin Berkarakter
Jika makin didalami, Megawati adalah seorang pemimpin berkepribadian kuat. Tak mudah dipengaruhi oleh siapa pun jika tidak sesuai dengan nurani dan visinya tentang cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Baginya visi dan misi para pemimpin bangsa ini tak bisa lain dari visi dan misi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Perubahan visi dan misi yang berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 justru harus dicegah.

Dengan prinsip itu, Megawati tak mau didikte oleh kekuatan mana pun, baik dari dalam negeri apalagi dari luar negeri. Dia dengan lantang menolak tindakan balas dendam Amerika Serikat menyerang Afganistan dan Irak, kendati dia setuju untuk melawan terorisme global.

Dia bertekad ingin membangun hubungan bilateral maupun multilateral dengan bangsa-bangsa di dunia dalam kesetaraan. Hubungan internasional, baginya, adalah mutlak tetapi harus dalam kerangka kepentingan nasional masing-masing dalam kesetaraan. Maka tak heran bila kepemimpinannya yang berkarakter kuat tak disukai negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Bush, yang secara kasat mata tampak membutuhkan pemimpin boneka di negara lain, seperti di Afganistan dan Irak. Sehingga tak heran bila negara maju itu mengorbitkan bahkan mungkin saja mendanai calon pemimpin alternatif yang kemungkinan lebih mudah dikendalikan.

Di dalam negeri, keutuhan NKRI, bagi Megawati merupakan prinsip yang harus dipertahankan para pemimpin bangsa. Dia tidak ingin ada air mata dan satu nyawa pun di negeri ini yang hilang. Sebagaimana terjadi di Aceh, dia ingin tak ada air mata di negeri serambi Mekkah itu. Maka dia pun mengawali penyelesaian Aceh dengan jalan diplomasi damai. Namun, ketika jalan damai itu menemui jalan buntu, dia pun memberlakukan darurat militer. Keputusan yang sesungguhnya sangat berat baginya, tetapi harus ditempuh demi keutuhan NKRI. Itu suatu keputusan seorang perempuan yang kuat.

Kepemimpinnya yang berkarakter kuat dan visioner, terlihat juga dari ‘ketegaannya’ menolak grasi para terpidana mati kasus narkoba. Dia mengaku sebagai seorang ibu, hatinya menangis ketika mengambil keputusan menolak grasi itu. Tapi demi masa depan anak-anak bangsa, dia harus mengambil keputusan yang secara nurani kemanusiaan sesungguhnya tak dikehendakinya.

Selain itu, kepemimpinnya yang berkarakter kuat, terlihat juga dari beberapa keputusannya yang sangat tidak populis. Keputusan mengenai kenaikan harga BBM, misalnya, yang mengikuti standar harga dunia. Beberapa tokoh dan pengamat yang mengandalkan kebijakan populis menentang kebijakan itu yang kemudian ditambangi demonstrasi beberapa kelompok mahasiswa.

Megawati tampak sangat menyadari ketidakpopuleran keputusan soal kenaikan BBM, yang berdampak langsung pada kenaikan harga barang dan jasa lainnya, itu. Tetapi dia kuat dan bersikukuh mengambil keputusan itu untuk membangun kemandirian bangsa ini secara komparatif dan kompetitif dengan bangsa-bangsa di dunia. Baginya, ssudah saatnya subsidi diakhiri dengan mengandalkan pinjaman (utang) luar negeri. Keputusan yang nyaris tak pernah diambil pemerintah sebelumnya, sehingga bangsa ini sulit melepaskan diri dari ketergantungan pada utang luar negeri.

Dia juga seorang yang jujur dan tulus. Antara lain terlihat ketika kampanye Pemilu Legislatif berlangsung, PT Telkom mengumumkan kenaikan tarif. Suatu tindakan naif dari kacamata politik, apalagi dari kacamata pihak yang menabukan kata kenaikan tarif dan menggantinya dengan kata penyesuaian. Tapi dia membiarkan jadual kenaikan itu bergulir apa adanya tanpa harus dipolitisir, misalnya menundanya sampai Pemilu selesai. Jika dipandang dari sudut pemimpin yang piawai merekayasa, tentu ini tindakan yang salah.

Dia juga seorang pemimpin yang berdedikasi dan memiliki loyalitas tinggi kepada komitmen yang telah disepakati. Lihat saja Kabinet Gotong-Royong yang pelangi dan dibentuk atas komitmen bersama lintas partai. Kendati telah nyata-nyata ada di antara menterinya telah menunjukkan sikap mendukung Capres lain, bahkan mungkin ada yang telah mengkhianati kepercayaannya, dia tetap memegang komitmen mempertahankan kabinet pelanginya. Padahal sebagai presiden yang menggenggam hak prerogatif untuk itu, bisa saja dia dengan mudah mengganti menteri-menteri tersebut. Hanya pemimpin berkepribadian kuat yang mampu bersikap seperti itu terhadap orang (menteri) yang bisa saja merongrong kepemimpinannya.

Bukan itu saja! Salah satu keputusannya yang kontroversial dan mengejutkan banyak pihak adalah restunya kepada Sutiyoso untuk terpilih kembali menjabat Gubernur DKI Jakarta. Pada proses pencalonan, Megawati ditekan oleh berbagai pihak agar jangan merestui Sutiyoso yang menjabat Pangdam Jaya saat terjadinya Kasus 27 Juli 1996. Demonstrasi kader dan simpatisan PDI-P marak. Tapi ketika pemilihan berlangsung, demonstrasi simpatisan PDI-P itu berhenti. Mengejutkan para lawan politiknya. Sayang keputusan merestui Sutiyoso ini harus dibayar mahal, sebab Sutiyoso tak tampak berpihak kepada wong cilik. Namun dari kasus ini, sebagai seorang pemimpin, Megawati telah menampakkan sosoknya yang kuat dengan kepribadiannya sendiri.

Dengan intensitas kontroversi yang hampir sama, adalah desakan publik agar dia mengganti Jaksa Agung. Namun, dia seperti tidak terpengaruh dengan masih mempertahankannya. Jika ingin mengambil tindakan populis saja, seorang pemimpin sudah akan mengganti Jaksa Agung itu. Namun, tampaknya Megawati melihat bahwa saat ini Jaksa Agung itu bukan satu-satunya titik lemah penegakan hukum di negeri ini. Menurutnya, banyak kasus korupsi yang telah dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan, ternyata di pengadilan divonis bebas.

Bukti lain kepemimpinnya yang berkarakter kuat adalah kerelaannya menerima keputusan politik SU-MPR 2001 yang memenangkan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan keikhlasannya menerima jabatan Wakil Presiden, kendati PDIP sebagai pemenang Pemilu. Hanya saja duet ’bersaudara’ ini tak bertahan lama akibat keteledoran Gus Dur yang tampak terlalu meremehkannya.

Bukan saja Gus Dur yang pernah terkesan meremehkan kemampuan kepemimpinan Megawati. Beberapa politisi dan pengamat juga seringkali menganggapnya lemah dan tak punya visi. Padahal jika dicermati secara jujur, dia seorang pemimpin yang kuat, yang berani mengatakan ya atau tidak pada waktunya. Visioner, konsisten dan tidak mencla-mencle.

Hanya saja, sifat pendiamnya, yang selain merupakan kekuatan juga menjadi kelemahan. Karena terkesan kurang berkomunikasi dengan rakyat. Sehingga lawan-lawan politiknya memanfaatkan sifat pendiam itu sebagai pertanda kelemahan dan ketidakmampuan.
Maka, jika Megawati belakangan ini meningkatkan komunikasi kepada publik adalah suatu bukti pula bahwa dia seorang pemimpin berjiwa besar. Jiwa besarnya, kesabarannya, yang selalu diam tatkala dicaci-maki, makin bercahaya saat dia menyadari kelemahan diamnya, selain merupakan kekuatannya.

Kesetaraan Jender
Megawati adalah sebuah bukti sejarah di mana perempuan mampu memimpin sebuah negeri. Dia memang bukan satu-satunya perempuan Indonesia yang tampil sebagai pemimpin. Pada abad ke-14 Tribuana Tungga Dewi adalah peletak dasar zaman keemasan Majapahit. Sultanah Saifatuddin Syah di Aceh pada abad ke-16-17, merupakan sultan perempuan pertama di negeri beragama Islam itu yang mampu memegang tampuk pemerintahan hingga 35 tahun.

Kini, Megawati diakui dunia sebagai pemimpin perempuan yang kuat dalam ukuran berskala dunia. Bangsa Indonesia, tidak hanya perempuan, patut berbangga. Megawati menunjukkan bahwa perempuan pun berhak dan mampu memimpin suatu negara. Meski isu jender kadang terangkat ke permukaan seiring pencalonannya sebagai presiden, dia menjawab dengan berupaya membuktikan kepemimpinannya mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia, termasuk kaum perempuan.

Seperti pernah dikemukakannya di dalam seminar nasional “Kepemimpinan Wanita Pada Millenium III” di Universitas Gadjah Mada tahun 1999: “Gerakan penyadaran dan pencerahan akan hak-hak kaum wanita tidak hanya melulu ditujukan kepada masyarakat kaum wanita saja, tetapi lebih jauh lagi justru upaya untuk melakukan pencerahan lebih diintensifkan dan diperlebar ke dalam wilayah kehidupan kaum laki-laki.

Menurut, Megawati, kaum perempuan harus dengan penuh arif dan bijak membantu kaum laki-laki agar mereka dapat bebas dan terbatas dari pola pikir lama yang hanya menempatkan kaum lelaki pada suatu tingkat peradaban yang memprihatinkan. “Dalam melakukan hal ini tidak perlu dijalankan dengan cara-cara yang berdampak melecehkan dan merendahkan martabat kaum laki-laki,” katanya.

Megawati menawarkan suatu strategi yang meletakkan dan memosisikan wanita sebagai ibu bangsa, sebagai ibu masyarakat dan sebagai ibu sejati. Dengan pijakan strategi ini, menurutnya, maka tidak ada alasan bagi kaum wanita untuk melakukan tuntutan-tuntutan yang hanya akan menimbulkan reaksi penolakan dari kaum laki-laki yang masih cenderung berpikir dan berpaling ke belakang.

Megawati juga menganjurkan agar perempuan lebih percaya diri, karena perempuan yang percaya diri tidak pernah gentar untuk bersaing dan menyaingi kaum laki-laki dalam konteks persaingan yang sehat. Sedangkan pria yang percaya diri tidak akan pernah merasa khawatir bila bersaing dan tersaingi oleh seorang wanita.

Keberhasilan Megawati, menurut Rika Saraswati, staf Fakultas Hukum dan anggota Pusat Studi Wanita Unika Soegijapranata Semarang, tidak semata-mata berada di pundaknya, tetapi dipengaruhi juga oleh kinerja orang-orang di sekitarnya, kaum perempuan dan kaum laki-laki.

Pilpres Putaran Kedua
Sebelum Pilpres (Pemilu Presiden) putaran pertama, 5 Juli 2004, tidak sedikit pengamat politik yang meragukan pasangan Capres-Cawapres Megawati Soekarnoputri dan KH Hasyim Muzadi (Mega-Hasyim) lolos ke putaran kedua. Tapi prakiraan para pengamat itu terbantah. Mega-Hasyim meraih 26,65 persen suara, berada di urutan kedua. Urutan pertama diraih pasangan Susilo BY-Jusuf Kalla (keduanya dibesarkan dalam Kabinet Gotong-Royong) dengan 33,5 persen suara.

Posisi Susilo BY dan Jusuf Kalla, yang di atas angin sebagai urutan teratas telah membuat Susilo BY terkesan meremehkan mesin politik partai-partai besar. Berbeda dengan Mega-Hasyim yang dianggap berbagai pihak sebagai underdog membuka pintu komunikasi politik lebar-lebar dengan partai-partai politik, sehingga melahirkan Koalisi Kebangsaan.

Perihal koalisi ini, Megawati mendasarinya pada prinsip bahwa pemerintahan yang akan datang telah diamanatkan oleh perubahan yang dilakukan dalam konstitusi UUD 1945 melalui amandemen yakni, suatu pemerintahan yang mekanisme antara eksekutif, legislatif dan yudikatif diharapkan mempunyai suatu kemapanan, suatu keseimbangan, sehingga dengan demikian suatu pemerintahan yang solid bisa berjalan dengan baik.

Megawati mengungkap bahwa dirinya seringkali berdiskusi dengan Wakil Presiden Hamzah Haz yang juga Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP). “Pak Hamzah, aneh juga kalau ada orang yang bilang bahwa partai (sistem partai politik) tidak diperlukan, karena yang diperlukan itu dukungan rakyat,” kata Megawati tanpa menyebut nama siapa yang dimaksud.

“Bapak bisa endak bayangkan kalau saya dipilih oleh rakyat saja, lalu rakyat suatu saat merasa dukungannya itu tidak diperlukan, lalu mereka lepaskan dukungannya, kan saya tinggal sendirian. Tetapi, kalau saya didukung oleh aspirasi rakyat yang dikumpulkan melalui partai-partai politik, maka, tentunya yang akan menjadi suatu tanggungjawab dan kewajiban dari partai politik itu adalah bagaimana mereka akan memberikan dukungannya dan bagaimana mereka akan menyurutkan dukungannya. Rasanya di seluruh dunia ini, entah saya salah baca apa tidak, tetapi rasanya sistem pemerintahan itu tetap melalui partai politik,” ungkap Megawati tentang percakapannya dengan Hamzah Haz.

Dalam hal ini, Megawati memberi pencerahan politik kepada publik. Banyak pihak menangkap makna pernyataan itu. Antara lain, bahwa orang yang ingin meraih dukungan rakyat tanpa melalui mekanisme sistem partai politik suatu saat akan menjalankan kekuasaannya sendirian tanpa mekanisme yang demokratis, sebab tidak mungkin mengumpulkan rakyat setiap saat mengambil keputusan.

Tapi kalau seseorang didukung rakyat melalui mekanisme dan sistem kepartaian, dia akan menjalankan kekuasaan dalam sistem yang demokratis melalui partai politik, sehingga dia tidak menjalankan kekuasaan sendirian alias diktator dan otoriter.

Kebersediaannya membagi kekuasaan, menunjukkan dirinya tidak berpotensi menjadi seorang diktator yang otoriter. Dia seorang pemimpin yang kuat dengan kepercayaan membagi kewenangan kepada orang lain baik sebagai mitra maupun sebagai pembantu (menteri). Kendati dia telah pernah dikhianati oleh dua-tiga orang menteri (pembantunya), dia tampak tetap pada pendirian untuk mempercayai orang lain.

Koalisi Kebangsaan dalam kaitan pembagian kekuasaan adalah wujud dari kemampuan mempercayai orang lain. Ini menunjukkan kepribadian yang kuat dan tidak selalu mencurigai orang lainnya. Berbeda dengan orang yang berkepribadian labil dan tak segan mengkhianati kepercayaan orang lain, dia akan cenderung sangat sulit mempercayai orang lain dan cenderung menggenggam kekuasaan di tangannya sendiri.

Bermodalkan Koalisi Kebangsaan yang akan mengggalang dukungan rakyat sampai ke akar rumput, pasangan Mega-Hasyim ini diperkirakan akan memenangkan Pemilu Presiden putaran kedua, 20 September 2004. Kemenangan Mega-Hasyim sekaligus akan membuktikan bahwa mesin politik partai benar-benar telah menjadi sistem penyaluran aspirasi rakyat secara efektif dan demokratis.

Derap perubahan
Perihal masalah pembaruan Indonesia, Megawati sangat yakin bahwa semua menyadari bahwa betapa luasnya lingkup pembaruan yang dicita-citakan itu. “Secara substansi, kita mengelola perubahan yang menyangkut segi kelembagaan dan prosedur dalam keseluruhan tatanan. Sekarang kita ibarat telah berada di tengah derap perubahan ke arah pembaruan itu. Kita gembira, karena betapa pun kecilnya, kita telah memulai langkah yang besar,” papar Megawati.

Bagai bola salju, lanjutnya, aura pembaruan atau reformasi tersebut terus menggelinding dan meluas. Memang harus diakui, acapkali kita sendiri tertegun dengan banyaknya akibat sampingan yang timbul dan tidak jarang menimbulkan masalah baru yang bahkan tidak kalah rumit dampaknya. “Berbagai kesulitan yang saat-saat ini kita hadapi bahkan lebih banyak berkaitan dengan masalah baru itu,” ujar Megawati.

Semula, papar Megawati, dikatakan bahwa semua itu sekadar eforia yang harus dipahami dan disikapi dengan sabar. Tetapi, ketika waktu terus berlalu, semua kian merasakan berlangsungnya banyak hal yang dianggap kurang menguntungkan. “Di tengah berbagai persoalan dalam gerak perubahan itu sendiri, kita juga harus mengelola ekses-ekses yang mengikutinya. Di antaranya dan yang selama ini sering kita rasakan adalah makin kurang imbangannya sikap dan perilaku kita bila dibandingkan dengan tujuan, langkah perubahan, dan pembaruan yang dihasilkan,” ujarnya.

“Kita sering kecewa bahwa langkah perubahan tidak kita laksanakan dalam bentuk dan dengan cara sebagaimana kita harapkan. Begitu pula ketika dalam rangka pembaruan kita mendambakan kehidupan ke arah yang lebih demokratis dan mandiri, yang hadir adalah faham tentang kebebasan yang seolah tanpa batas, dan menyulut pertikaian yang nyaris memorakporandakan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Kita juga menghadapi kegetiran baru karena tampilnya keadaan yang kadangkala dirasa lebih mundur dibandingkan kondisi umum yang pernah kita miliki di masa sebelum era ini,” kata Megawati.

Megawati menyadari masih belum cukup waktu untuk melakukan perbaikan dan perubahan berarti di bidang politik dan hukum. Warisan persoalan yang mengakar dari masa lampau akhirnya malah tampak menjerat langkah sendiri. Ketenangan penampilannya sebagai pemimpin tidak selalu menjamin ketenangan di dada masyarakat.

Dia menyadari bahwa banyak pihak yang tidak puas terhadap kinerjanya, yang menurut sebagian orang lambat. “Waktu permulaan, ah... Presiden Megawati itu orangnya lambat, tidak mau cepat memutuskan. Tidak mau ngomong. Ya, biar saja. Yang penting, ke depannya lebih berguna, daripada buru-buru, cepat-cepat,” katanya dalam suatu acara. Megawati pun optimis, bila rakyat mempercayainya memimpin bangsa ini lima tahun ke depan, akan melanjutkan pemulihan ekonomi yang sudah tercapai dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi.

sumber : http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi


Blogspot Templates by Isnaini Dot Com and Hot Car Pictures. Powered by Blogger